Monday, June 11, 2007

SIMBIOSIS MUTUALISME HUMAS DALAM PERUSAHAAN

Dari era ke era perkembangan suatu lembaga atau perusahaan dapat dikatakan sangat tergantung pada kinerja kehumasannya. Untuk kinerja seorang humas (Public Relatinons), selalu diarahkan pada pengangkatan nama baik (image) suatu lembaga perusahaan tersebut.

Kali ini kami (redaksi) mencoba mengupas tentang kiat-kiat khusus menjadi humas di suatu lembaga, begitu juga peranannya. Untuk berbicara dalam kontek kali ini kami mencoba mewawancarai Humas Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF), Wirawan Dwi Pradono pada pertengahan April lalu. Berikut petikan wawancaranya:

Mengenai kinerja kehumasan di suatu lembaga perusahaan. Apakah bedanya humas dulu dengan sekarang jika dilihat dari perkembangannya?
Kalau pada era yang lama, kinerja humas di suatu lembaga tidak begitu berperan. Hal ini terbukti bahwa pada era dahulu kinerja humas itu dapat dirangkap. Jadi, humas itu bidangnya bukan dikhususkan pada humas, melainkan merangkap pada beberapa bidang lainnya. Bedanya kalau pada era sekarang, humas sangat dibutuhkan dan lebih dihargai. Pada masa-masa saat ini peran kehumasan sudah dipakai oleh semua lembaga yang ada. Begitu pula mengenai kinerjanya, humas sekarang sudah difokuskan pada bidangnya sendiri yaitu kehumasan.

Seberapa pentingkah peranan humas dalam sebuah lembaga atau perusahaan?
Humas memang diperlukan dalam sebuah lembaga. Dengan adanya humas maka citra dan nama baik perusahaan ataupun lembaga dapat terangkat.

Berarti, secara langsung ataupun tidak langsung baik buruknya citra suatu lembaga atau perusahaan tergantung pada kinerja seorang humas ?
Tidak juga. Itu semua tergantung pula pada perangkat yang ada di dalam lembaga itu sendiri. Misalnya saja pada lembaga pers atau sebuah media, maka tidak hanya seorang humas yang bertugas menjaga nama baik, akan tetapi wartawan juga harus bisa menjaga citra lembaga tersebut.

Bagaimana bila dalam lingkup media pers. Apakah wartawan juga butuh hubungan timbal balik denga humas suatu perusahaan?
Ya, Kerja sama dalam hal ini memang dibutuhkan, karena jika kerja sama itu baik maka akan terjadi simbiosis mutualisme, artinya sama-sama untung. Wartawan butuh informasi dan lembaga atau perusahaan butuh nama baik lewat tangan humas.

Lantas, kenapa perangkat yang ada di dalam lembaga tersebut harus diikutsertakan. Padahal tugas menjaga nama baik suatu lembaga itu ada yang mengurusi, yakni humas itu sendiri?
Kerja sama dengan orang-orang di dalam satu naungan lembaga sangat dibutuhkan oleh humas, karena akan membentuk sinergi yang kuat didalamnya.

Lalu, kiat khusus apa yang menjadi acuan bagi seorang humas dalam sebuah perusahaan?
Seorang humas harus mengetahui seluk-beluk permasalahan yang terjadi dalam lembaga itu sampai ngelontok, dan seorang humas harus bisa bertanggung jawab mengenai penjelasan yang diberikan. - andrian saputri

Gigih Junjung Tut Wuri Handayani

Tangannya yang memiliki ukuran hanya setengah dari tangan orang dewasa itu. Dua botol soft drink dibawanya keluar dengan pegangan yang kuat. Sehingga tak tampak sama sekali gambaran seorang yang memiliki cacat pada tangannya.

Sembari sesekali mengumbar senyuman, Siti Hadarah (58) wanita yang telah mengabdikan sepanjang hidupnya sebagai seorang guru ini pagi itu mulai melayani anak-anak sekolah di SMP Negeri 10 Surabaya.

Mengenai profesinya sebagai seorang pahlawan tanpa tanda jasa ini, menurutnya dulu tak terlintas sedikitpun menjadi seorang guru. “Dulu saya cuma coba-coba ikut tes pegawai negeri eh kok malah diterima menjadi seorang guru.” ungkapnya. Pagi itu, tepat pukul 07.30 tiba-tiba Siti mulai bergegas keluar dari rumahnya yang berada di kawasan Pulo, Wonokromo, Surabaya. Karena ukuran tubuhnya dan cacat pada tangannya menjadikan dia memakai jasa ojek untuk sampai di sekolah yang terletak di raya Kartini Surabaya.

Setelah itu menjelang maghrib dia pulang ke rumah. Kemudian dilajut dengan aktifitas yang dilakukan selepas shalat maghrib, yakni membuat es batu untuk dijual esok hari. ”Sehabis itu barulah saya istirahat,” imbuh ibu kelahiran Makassar ini.

Ketika usianya masih muda Siti mengaku berangkat ke Sekolah tempatnya menjalani rutinitas dengan mengayuh sepeda. ”Akan tetapi sekarang saya sudah tak kuat lagi naik sepeda,” ujarnya dengan senyuman kecil di bibirnya.

Dari pengalamannya berangkat mengajar dengan naik sepeda tersebut. Siti sempat dijuluki kawan-kawan seprofesinya sebagai umi bakri (mencuplik dari salah satu judul lagu Iwan Fals ’Umar bakrei’). Sebuah lagu yang menggambarkan mulianya sosok seorang guru yang berangkat dengan mengayuh sepeda tuanya. ”Ya, kala itu mereka memanggil saya ’umi bakri...umi bakri....umi bakri,” imbuhnya serasa menirukan sapaan beberapa kawan pada dirinya.

Tak ada sedikitpun raut muka yang menunjukkan penderitaannya selama ini. Semua terbawa oleh sifatnya yang sangat humoris dan menghibur. Meski, keseharian guru bahasa Indonesia ini dihabiskan di Sekolahan. “Beginilah kalau pagi saya jaga kopsis (koperasi siswa) dan siangnya saya mengajar,” ujarnya.

Ibu yang satu ini mengaku mempunyai 14 orang anak buah pernikahannya dari suami yang pertama dan kedua. Suami pertamanya telah meninggal, lalu ia menikah lagi dengan kakak iparnya sendiri.

Dengan jumlah anak yang tak sedikit, sama sekali tak menyurutkan niatnya untuk bersosial dengan yang lain. Ada sekitar 11 orang anak asuhnya yang sengaja dititipkan dari saudara-saudaranya.

Dengan jumlah anak sekaligus anak asuh sebanyak itu tak membuatnya berkecil hati. Untuk makan dia mengharapkan bantuan dari yayasan sosial dharma wanita koramil. Namun, jika tidak ada ia memberikan kail atau pancing pada anak-anaknya untuk mencari ikan di sungai.
“Kalau dapat ya kami makan ikan itu, tapi kalau tidak mereka saya suruh cari kangkung di sekitar sungai, gitu aja kok repot.” ujarnya sambil berkelakar.

Dengan seluruh kekurangannya dia telah mengabdikan hidupnya selama 30 tahun untuk menjadi seorang guru. Meski, untuk sekedar menulis di papan tulispun ia tak bisa. “ jadi saat saya mengajarr di ruang kelas cukup diterangkan saja lewat lisan,” ucapnya.

Dari proses belajar yang dilakukannya seperti itu, dia merasa cukup berhasil. Karena menurutnya percuma anak-anak sekolah sekarang kalau diberi catatan jarang dibuka.
Seiring dengan tuntutan dan tanggung jawab yang tak begitu ringan mengemban profesi sebagai seorang guru. Siti Hadarah dengan kondisi tubuhnya yang cacat masih terlihat begitu gigih menjunjung tinggi moto pendidikan ’Tut Wuri Handayani’.

Naskah: Shiska P, Guntur IP/
Foto: Wahyu Triatmojo)


Curriculum Vitae
Nama Lengkap : Siti Hadarah
Tempat, tanggal lahir : Makassar, 10 Juli 1948
Agama : Islam
Profesi : Guru SMPN 10 Surabaya
Hobbi : Bulu Tangkis
Alamat : Pulo Wonokromo Gg pasir 4 No. 140 Surabaya.
Pendidikan : - S1 IKIP tahun 1976 - D3 Unesa tahun 1999

Saturday, June 09, 2007



Melaju dengan Si Mobil Mini

Pernah bermimpi menjadi seorang pembalap gokart? Bagi sebagian kaum Adam hobi yang dilakukan dengan sebuah mobil balap mini ini, terkadang menjadi obsesi agar terlihat gagah.

Mobil gokart sendiri merupakan buatan asli Australia dan Itali. Di Indonesia kali pertama muncul di kota Bandung sekitar tahun 1978, yang dipelopori oleh anak-anak Institut Tekhnologi Bandung (ITB), hingga sampai sekarang gokart terus berkembang dan menjadi gaya hidup atau bahkan sebagai hobi saat ini.

Memang tidak sedikit kocek yang kita keluarkan untuk memainkannya, apalagi memiliki mobil gokart itu sendiri. Karena untuk gokart baru kelas kadet (anak-anak usia 7-12 tahun) saja sekitar Rp 25 juta. sedangkan untuk kelas lainnya harga mobil gokart build up mencapai Rp 45 juta.

Gokart yang terbagi dalam empat kelas yang disesuaikan dari segi umur. Yaitu kelas kadet (anak-anak usia 7-12 tahun), kelas junior max remaja (usia 13-18 tahun), kelas senior max (usia 18-35 tahun), dan juga master max (usia di atas 35 tahun).

Hobi bermain gokart rupanya begitu melekat di kawula muda kota metropolis. Seperti halnya yang diungkapkan Linda (20), mahasiswi perguruan tinggi swasta di Surabaya. Ia mengaku kegemarannya bermain gokart berawal dari ajakan teman. “awalnya sich coba-coba, eh tahunya jadi ketagihan,” ungkapnya, saat ditemui Acta Surya di sirkuit gokart indoor Pakuwon Trade Centre (PTC) pada 17 Maret lalu.

Begitu pula yang dikatakan Albert (9), siswa sekolah dasar negeri di Surabaya ini. Ia pun tidak bosan untuk berjam-jam bermain gokart. “Saya suka bermain gokart karena ingin jadi pembalap,” ucapnya sambil tersipu malu.

Saat ini arena balap untuk mobil gokart sudah tersebar luas di kota metropolis. Salah satunya di Indoor Mangga Dua Wonokromo dan juga Outdoor di PTC.

Hanya dengan Rp 35 ribu selama 10 menit kita bisa menikmatinya 7-10 putaran, tetapi itu semua tergantung dengan pemainnya. Bahkan untuk mesin yang digunakan tidak lebih dari 100-270 cc, sementara maksimal kecepatan yang diperoleh pun hanya sekitar 35-40 km/jam.

Gokart tak sekedar hobi yang menyenangkan. Akan tetapi juga menantang dengan lintasannya yang penuh tikungan tajam. Jadi bagi anda yang merasa sehat dan berstamina, jangan ragu untuk injakkan kaki pada pedal gas mobil gokart. (Naskah: Kurnia F / Foto: Wahyu Agus Setiono)














Srikandi, Tanam Benih Berprestasi

Di tengah hiruk-pikuk aktivitas warga Kota Pahlawan pulang dari kerjanya. Dengan penuh konsentrasi puluhan anak terlihat asik memainkan busur panah.


Pemandangan ini dapat dijumpai di lapangan olahraga KONI Kertajaya. Aksi mereka di atas lapangan hijau berbentuk elips bak atlit professional. Teknik demi teknik dengan mudah diterapkannya. Perlahan-lahan tangan Rika, meregangkan tali busur, dengan pandangan lurus ke arah papan lingkaran (sasaran) busur pun dilepaskannya. lantas mulai membidik kearah sasaran.

Tidak lama kemudian, raut muka gadis cilik berusia 8 tahun itu tampak murung. “Duh, gagal lagi dan tidak tepat pada sasarannya,” keluhnya sore itu.Nasib serupa juga dialami beberapa teman Rika, yang kebetulan berada di sampingnya. Namun semangat yang tinggi mampu mengalahkan kernyitan dahi mereka. Srikandi Archery adalah klub berkumpulnya para atlet-atlet panahan.

Pembina cabang olahraga ini Denny Triswanto, menjelaskan bahwa syarat untuk menjadi seorang atlet panahan tidak dibutuhkan bakat melainkan keinginan yang serius dan jiwa yang betul-betul tenang. Maka tidak salah jika Denny menegaskan bahwa olahraga ini sangat identik dengan olahraga tembak, tapi lebih ringan dan tidak terlalu beresiko. ”karena sama-sama dibutuhkan kejelian dan konsentrasi,” tuturnya kala itu.

Hingga saat ini, klub asuhannya tercatat mempunyai anak didik sejumlah lebih dari 50 anak. Rata-rata masih duduk di bangku SD hingga SMA. Setiap harinya mereka berlatih selama 24 jam non-stop dengan dibimbing tiga pelatih dari klub tersebut. Sejalan beriringnya waktu antusias mereka untuk tetap konsisten berlatih kian berkurang. Dan hanya tersisah delapan atlet yang rencananya akan dikirim ke Singapura untuk event internasional. Menurut salah seorang Pelatih Srikandi Archery Sutopo, 44 tahun, ada beberapa penyebab berkurangnya minat berlatih mereka. Misalnya saja rasa bosan, dan tidak adanya motivasi dari orang tua.

Mengenai penjadwalan latihan, Srikandi mempunyai aturan yang sama dalam hal tingkatan usia. Artinya junior dan senior latihan dengan waktu dan tempat yang sama. Durasi latihan yang bertempat di lapangan yang di bangun oleh KONI Jatim, serta dikelola oleh Pengurus Daerah (Pengda) Jatim ini tidak ada batasan. ”Kita waktunya bebas, mereka selesai asalkan sudah mencapai scored yang ditetapkan oleh pelatih,” tambah Sutopo.

Dalam kurun waktu latihan tersebut, mereka manfaatkan untuk pemanasan (warming up), kemudian ada semacam penguluran otot (stertching) dengan menggunakan pipa paralon dan karet sampai otot tangan lurus. Setelah itu dilanjutkan latihan memanah jarak pendek jarak 10 sampai 15 meter. Lalu diakhiri dengan pendinginan lari lima kali putaran lapangan penuh.

Menuai Prestasi Berbekal eksistensi berlatih, beberapa atlet panahan klub tersebut tak jarang yang menuai prestasi.Delli Threesyadinda, 17 tahun dan Irvaldi Ananda Putra, 11 tahun. Keduanya merupakan dua atlet binaan klub Srikandi Archery, yang paling berprestasi baik nasional maupun internasional. Delli adalah anak dari pasangan Denny dan Lilies yang tak lain adalah pembina sekaligus atlet panahan Srikandi Archery sendiri. Tidak tanggung-tanggung 12 Rekor Muri pernah diraihnya. Begitu pula dengan Irvaldi yang pernah tercatat masuk rekor Muri atas prestasinya pada tembak balon setinggi 15 meter dengan jarak 30 meter. Dari pandangan Sutopo, potensi dari para atlet Panahan di Kota Pahlawan ini sendiri paling unggul bila dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. ”Jatim selalu Juara Umum bila dibanding Pengda lainnya,” ujar pria berkacamata itu.


Peralatan Sumbangsih Pembina

Perkembangan olahraga panahan Indonesia di tingkat Internasional sudah demikian melambung di setiap era. Tentunya seiring prestasi diraih, peralatan kebutuhan olahraga panahan pun harus mumpuni.Untuk mendapatkan fasilitas peralatan yang mumpuni, Srikandi klub yang sudah ada sejak tahun 80-an ini memperolehnya dari dana pribadi pembina sendiri.

”Sebagian besar alat-alat itu diperoleh dari saya atau pembina lainnya, tapi tidak menutup kemungkinan dari KONI pusat juga memberi, walaupun hanya satu atau dua set saja,” jelas Denny.Harga beberapa peralatan yang digunakan pun berbeda-beda tergantung dari tingkatannya. Untuk Recorve hampir mencapai 20 juta, sedangkan untuk Compon berkisar antara 25-40 juta rupiah.


Satu seruan yang selalu diberikan oleh pelatih kepada para atletnya yaitu Lapang dada menerima kegagalan, lalu melecut diri utnuk segera berbenah. Cabang Panahanbersiap menghadapi tantangan mendatang, karena dunia belum kiamat dan prestasi demi prestasi masih menunggu di depan.(naskah:Andrian Saputri/ Foto: Dhimas Prasaja)

ARTIKEL

RADIO KAMPUS
oleh: fajar arifianto, staf pengajar Stikosa-AWS (fajar-indosiar@sby.centrin.net.id)

Saat ini sudah banyak kampus yang memiliki radio siaran sendiri, meski dengan daya pancar terbatas. Biasanya radio kampus digunakan mahasiswa mengembangkan hobby-nya di bidang broadcasting. Bak penyiar profesional, penyiar radio kampus sudah berani mengekspresikan kemampuannya, meski dengan peralatan audio system yang terbatas.

Ada juga kampus yang hanya punya audio internal, dimana siaran radio di kampus tidak untuk disiarkan karena belum memiliki pemancar. Jadi hanya menggunakan kabel dan beberapa speaker yang ditempatkan di lokasi lokasi strategis, sehingga siaran bisa terdengar di hampir seluruh kampus.

Semangat mahasiswa untuk bisa siaran di radio, sampai sekarang tetap tinggi. Bahkan tidak sedikit mahasiswa yang memilih jurusan komunikasi hanya sekedar ingin mendukung bakat dan hobbynya di radio siaran.

Saya teringat ketika masih mahasiswa. Karena belum punya radio kampus sendiri, waktu itu sekitar tahun 1993-an teman teman yang hobby radio berkumpul di RRI jalan Pemuda. Kita rekaman siaran dunia mahasiswa (Siduma) yang disiarkan seminggu sekali tiap sabtu sore dengan durasi setengah jam.

Ternyata tidak hanya mahasiswa Stikosa, diSiduma berkumpul juga rekan rekan mahasiswa dari Unair, Unesa (waktu itu masih IKIP Surabaya), IAIN Sunan Ampel, UPB, dan beberapa kampus lain.

Di Siaran Dunia mahasiswa kita belajar membuat produksi siaran radio sendiri. Naskah siaran kita yang nulis, berita kita yang hunting, termasuk juga memilih musik dan lagu yang akan diputar di Siduma. Hanya proses recording (rekaman) yang melibatkan operator RRI plus seorang producer dari bagian siaran kata RRI Surabaya.

Meski hanya seminggu sekali, acara Siaran Dunia Mahasiswa sangat menyenangkan. Setidaknya ada wadah bagi teman teman mahasiswa yang hobby radio untuk berkumpul, berbagi pengalaman, dan belajar bersama tentang radio siaran. Tidak ada senior dan yunior, yang merasa sudah bisa berbagi pengalaman dengan yang belum bisa. Kegiatan off air Siduma berupa lomba presenter dan baca berita untuk mahasiswa dan umum juga memberikan warna tersendiri kiprah Siduma kala itu.

Sekitar tiga tahun saya aktif di Siduma sebagai Scriptwritter dan reporter, sampai akhirnya saya dapat bekerja di radio siaran swasta. Lima tahun saya jadi reporter radio di Surabaya dan Sidoarjo, dengan pengalaman paling berharga ketika bertugas sebagai reporter radio Suara Surabaya. Pengalaman di radio inilah yang mengantarkan saya bisa bekerja di televisi swasta Indosiar.

Sampai sekarang Siaran dunia mahasiswa (Siduma) ternyata masih diproduksi. Saya sempat bertemu satu diantara mahasiswa Stikosa yang kebetulan masih aktif di Siduma. Saya senang karena wadah mahasiswa surabaya untuk belajar siaran masih eksis.

Tentunya mahasiswa sekarang tidak perlu repot repot datang dan rekaman di RRI, karena di kampusnya sudah ada studio radio siaran. Mereka bisa kapan saja siaran di kampus.
Tapi yang lebih penting menurut saya, radio kampus tidak sekedar untuk menyalurkan hobby siaran. Teman teman mahasiswa juga harus belajar, memahami dan praktek produksi siaran radio. Jadi tidak hanya pinter ngomong sebagai penyiar, meski harus diakui profesi penyiar radio (terutama radio bergaya anak muda), sampai sekarang masih jadi impian bagi sebagian anak muda.

Sebagai media siaran untuk mahasiswa, radio kampus mestinya juga membuka kesempatan untuk belajar jadi reporter, scripwritter, producer, music director, dsb.
Ditengah makin banyaknya radio yang berjurnalisme, sebenarnya ini peluang bagi mahasiswa yang punya radio kampus untuk belajar lebih banyak sebelum berkiprah di radio siaran. Apalagi sebagai mahasiswa komunikasi yang mendalami jurnalistik, tentunya punya nilai lebih bila sungguh sungguh mau mencoba dan belajar tentang radio siaran.

Untuk itu mahasiswa perlu latihan membuat produksi berita radio, apakah straight news, majalah udara , feature, profil, documentaey dan lain sebagainya. Kemampuan mahasiswa untuk bisa reportase, menulis dan terampil membuat paket paket produksi siaran, adalah selling point yang diharapkan bisa menjawab tuntutan kerja di radio siaran.

Radio kampus mestinya harus bisa mewadahi hal ini. Jadi selain praktek jadi penyiar, juga harus diimbangi dengan mengasah keterampilan lain seperti reportase, menulis dan memproduksi berbagai berita radio dengan arahan para praktisi radio siaran dan dosen yang punya kompetensi di bidangnya.

Kemampuan jadi penyiar,reporter, music director, scriptwritter dan producer yang handal adalah skill atau keterampilan yang hanya bisa diperoleh bila masing masing individu mau berlatih dengan sungguh sungguh.

Di Jakarta ada sebuah radio kampus namanya MS TRI (singkatan Media Suara Trisakti) milik Universitas Trisakti Jakarta. Meski dikatakan radio kampus (karena kantor dan studionya berada dikampus Trisaksti Grogol Jakarta barat) Radio MS TRI termasuk radio siaran swasta nasional yang dikelola secara serius dan punya banyak pendengar.

Ketika era reformasi, radio MS TRI menjadi radio siaran yang banyak mendapat respon audience, karena dipercaya sebagai radionya mahasiswa. Ketika itu, MS TRI menyiarkan aksi- aksi mahasiswa lengkap dengan rute perjalanan aksi, mulai titik berkumpulnya massa,berangkat sampai ke tempat tujuan unjuk rasa.

Ketika tahun 1999 saya ke Jakarta meliput sidang Istimewa MPR untuk radio Suara Surabaya, saya sempat berkolaborasi dengan tim liputan radio MS TRI. Saya merasakan kekompakan serta semangat teman teman reporter dan penyiar MS TRI dalam menyajikan siaran yang kala itu didominasi informasi seputar aksi-aksi mahasiswa ibukota menyuarakan reformasi.

Para awak radio MS TRI hampir seluruhnya mahasiswa aktif yang tetap kuliah disela sela tugasnya sebagai penyiar, reporter, producer, scriptwritter maupun music director. Mereka mendapatkan pengalaman kerja yang nyata dari praktek bersiaran radio di kampusnya.
Meski format dan gaya siarannya anak muda, radio MS TRI tetap tidak kehilangan nafas informasi dan berita aktual. Dengan bahasa dan kemasan jurnalisme radio yang disesuaikan dengan gaya anak muda, radio MS TRI ternyata mampu menarik perhatian pendengar, tidak hanya mahasiswa tapi juga khalayak umum yang lebih luas. Bisa dikatakan, radio MS TRI bukan sekedar radio kampus biasa, tapi sudah jadi radio kampus plus yang mampu memenuhi kebutuhan pendengarnya lebih profesional dan dikelola secara mandiri.

Semoga semakin banyak radio kampus yang bisa melakukan seperti itu. Ini bukan membandingkan, karena tidak fair menyamakan radio-radio kampus lain dengan MS TRI yang didukung penuh oleh rektorat universitas Trisakti terutama dalam soal peralatan operasional dan dana.

Setidaknya kita bisa mengambil semangatnya agar pengelola radio kampus mulai mencoba untuk menata dan berbenah agar semakin banyak mahasiswa yang merasakan manfaat dari keberadaan radio kampus. Satu diantara manfaatnya bila radio kampus sudah menjadi media praktek yang efektif bagi mahasiswa sebagai persiapan awal sebelum bekerja di radio siaran swasta.

Kepentingan Kekuasaan Tunggangi Pergerakan Mahasiswa

Melihat perkembangan kancah perpolitikan bangsa saat ini, mulai dapat dikatakan seperti kembali ke zaman anomali (tidak adanya rasa saling percaya) sesama elemen bangsa. Mantan Ketua Partai Rakyat Demokrat (PRD) Jawa Timur, M. Sholeh mengatakan semuanya tak lepas dari peran serta mahasiswa dan elemen masyarakat kita.

Namun, ia sangat menyayangkan apabila saat ini mahasiswa kian turun kekritisannya dalam menyikapi persoalan-persoalan politik bangsa ini. ”Mahasiswa sebagai agent of change ternyata tidak mampu berdiri sendiri dan mereka sangat tergantung pada kehadiran seorang pemimpin,” ujarnya.

Hal ini tentu sangat berbeda tatkla di tahun 1996 atau era reformsi (1998). Saat itu pergerakan politik mampu membawa suatu perubahan bagi pergerakan poltik yang di bawa oleh mahasiswa. Dengan tidak lepas dari bantuan masyarakat, hingga terwujudlah suatu proses reformasi.

Munculnya polemik mencari isu bersama patut ada bagi perubahan politik sekarang. “Lebih gamblangnya saat ngomong era suharto, kala itu dari segala aspek baik ekonomi, poltik, hukum serta lainnya masih yang terbelenggu oleh seorang penguasa,” imbuhnya.

Begitu pula untuk sekarang yang tidak jauh beda dengan dulu. Berbagai elemen tidak dapat berdiri sendiri karena di balik ada sebuah kepentingan partai politik, yang ujung-ujungnya adalah kekuasaan. Padahal pergerakan politik dapat berjalan dengan menggalang kekuatan, yang berujung pada kebersatuan dan kesadaran diri untuk merubah bangsa menjadi lebih baik.
Disinggung mengenai solusi bagi pergerakan poliltik bangsa nanti. Pria kelahiran 2 Oktober 1976 ini mengatakan intinya dimulai dari perubahan dan perlakuan dari diri kita sendiri. ”Dan ini sangat tepat seorang pemimpin,” tambahnya.

Contohnya kita atau pemimpin ikut terjun langsung merasakan kesengsaran rakyat. Apabila dalam kasus luberan lumpur Lapindo, semestinya kita atau pemimpin ikut serta terjun merasakan penderitaan mereka. (M. Ridlo'i/Hendri D. Wahyudi)

KABUT KELAM TELEKOMUNIKASI INDONESIA

Bobroknya citra pertelekomunikasian di Indonesia selayaknya patut untuk kita kaji ulang. Pengkajian itu meliputi dalam segala hal, misalnya pengkajian ulang terhadap tarif telepon selular kita.

Hal ini seperti yang diutarakan Vice President Gharu Mas Selaras Group Jakarta, Patrick Kwatno pada masyarakat di acara Bang-Bang Wetan yang diadakan di Balai Pemuda Surabaya pada Senin 28 Mei lalu. Ia mengatakan saat ini kita berada di milenium ketiga pada era informasi di jaman globalisasi, di mana peranan informasi sangat tinggi dan menjadi kebutuhan pokok.

Selain itu kita sebagai warga negara Indonesia patut berfikir kritis terhadap penyimpangan-penyimpangan yang menimpa pertelekomunikasian di negera ini. ”Salah satu contoh penguasaan Temasek (Singapore) pada beberapa perusahaan penyedia sarana telekomunikasi, hal ini terjadi di Indonesia maupun negara lain,” jelas Patrick.

Bahkan ia berani berpendapat inilah upaya-upaya yang menjadi pengatur arus informasi, selain dapat meraup keuntungan besar. Menurutnya keterangan ini berdasar pada teledensitas per-100 penduduk pemakai saluran telepon yang tetap (fix-wireline/fix-wireless) maupun saluran telepon yang bergerak (wireless-phone) dan sebarannya di Indonesia (saat ini), termasuk yang terendah di ASEAN.

Internasional Telekomunikasi Union (ITU) sebagai badan pertelekomunikasian PBB, bahkan pernah mengadakan perhitungan mengenai total pertumbuhan ekonomi dari sektor sarana dan jasa telekomunikasi di daerah tertinggal. Yang hasilnya 1 persen dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 3 persen.

Bagaimana dengan negara kita? Lebih lanjut Patrick mengungkapkan dari hasil penelitiannya selama 17 tahun bahwa sarana telekomunikasi ke luar negeri mayoritas ditangani oleh Indosat melalui satelit Internasional sebanyak 4 persen dan kabel laut sebanyak 96 persen.

”konversi data ke negara seperti Amerika dan Jepang (via kabel laut) dilakukan oleh Singapore sebelum Indosat di privatisasi,” ujarnya.

Patut kita ketahui Indonesia memiliki sentral gerbang Internasional, juga sebagai pemilik satelit Palapa C-1 dan palapa C-2. Kedua satelit tersebut notabene mempunyai orbit satelit Geostasioner yang didaftarkan atas nama Indonesia.

Letak satelit Geostasioner sendiri pada lintang katulistiwa pada ketinggian 35.788 kM dpl dan jumlah kaplingnya yang sangat terbatas, dengan total 240 satelit bila deviasi 1,5 derajat.
Melihat begitu strategisnya letak Geostasioner yang semula saluran langsung Internasional Indonesia ke luar negeri melalui satelit INTELSAT dilakukan oleh ITT. Terjadilah peralihan pemegang saham ITT yang dibeli pemerintah Indonesia dan kini menjadi milik yang strategis Indosat. Sedangkan satelit Palapa C-1 yang semula dimiliki Perumtel hingga kemudian dimiliki Satelindo dan akhirnya Satelindo dimiliki pula oleh Indosat.Tak berselang lama 42 persen saham Indosat dimiliki oleh Group Temasek melalui STT-STTC sebagai anak perusahaannya.

”Melihat beberapa keanehan tersebut kini tiba saatnya merakyatkan telekomunikasi agar dapat terealisir dan dapat mengembalikan harkat, martabat serta kejayaan bangsa di bidang informasi dan telekomunikasi,” tukas Patrick. (M. Ridlo’i)

KOMBINASI KEKUASAAN SOEKARNO DAN SOEHARTO

Pergerakan perjuangan politik Indonesia hingga sekarang, tak berujung pada perubahan yang berarti bagi kehidupan bangsa. Namun perpaduan strategi, taktik dan sikap mental pemimpin yang tegas sangat diperlukan sebagai obat penyembuh bangsa.

Menilik dari sejarah perkembangan perjuangan bangsa, masyarakat Indonesia masih di bawah ambang ketidaksadaran dalam berpolitik. Hal ini yang menjadi kendala perjuangan rakyat, yang inginkan kehidupan bangsa yang layak (aman tentram dan damai) belum juga terwujud.

Jika kita melihat negara sahabat kita Malaysia, dulu sosok negara ini pun senasib dan sepenangulangan dengan Indonesia. Bahkan dapat dikatakan lebih terpuruk dibanding negeri merah putih ini. Namun dengan semangat maju dan bersatunya ideologi partai yang mendukung pemerintahan, alhasil negeri tersebut menyandang title negara yang berkembang bahkan maju.

Kata orang bijak ’belajarlah dari kesalahan’. Menurut dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unair I Basis Susilo menjentrehkan bahwa sebenarnya proses perjuangan kita sudah benar (mulai dari aspirasi masyarakat menuju ke parpol/organisasi lain lalu ke pemerintah).

Namun kelemahan aspirasi kita terhalang di tempat partai politik (parpol) yang kini telah berubah menjadi perusahaan yang memproduksi kepentingan golongan semata. yang seharusnya parpol menjadi jembatan aspirasi rakyat yang mengalir menuju istana merdeka.
Apalagi ditambah dengan pola pemimpin yang kurang tegas menambah penelantaran persoalan bangsa menjadi kececeran.

”Sebenarnya kalau saya boleh ngomong, saya lebih setuju dengan pola kepemimpin bangsa yang mengkombinasikan dua pola kepemimpinan, Soekarno dan Soeharto. Di mana keberanian dan ketegasan yang di miliki Soekarno dan tidak frontalnya pola kepemimpinan seperti Soeharto,” ujarnya.

Penggambarannya di mana pemimpin harus membangaun strategi dan taktik, tidak terlalu grusah-grusuh dan main atem saja, melainkan melihat dahulu cela untuk maju dan membangun strategi untuk mendapat bantuan dari dalam atau luar negeri.

Sekali lagi semua itu tidak lepas dari emansipasi semua elemen yang ada, masyarakat harus mampu mengkritik dan memberikan solusi. Jika diharuskan berjuang semua elemen harus berjuang sesuai dengan porsinya. ”Jika anda seorang mahasiswa, ya berjuanglah sesuai dengan kedudukan anda,” imbuh Dosen Hubungan Internasional Stikosa-AWS.

-
M. Ridlo'i/Hendri D. Wahyudi

Berita Nasional

Pergerakan Politik di Zaman Anomali

Malam itu, ratusan orang berduyun-duyun memadati halaman Balai Pemuda Surabaya. Kehadiran mereka untuk mengikuti forum kajian Bang-Bang Wetan.

Kajian yang diprakarsai Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) itu mengangkat tema pola pergerakan politik. Dengan menghadirkan beberapa narasumber yang sudah tak asing lagi bagi masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Antara lain Sukowidodo (Dosen Komunikasi Unair), Priyo Al-Jabbar (Cak Priyo), Darmadji (ITS), Ignatius Basosoesilo (Dekan Fisipol Unair), Simen (Ketua BEM Unair), Sholeh, dan Dimam Abror (Pimred Surya).

Mengawali pokok bahasannya Cak Nun sedikit bercerita mengenai pertemuannya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beberapa waktu lalu di Jogjakarta. Tepatnya empat hari yang lalu sebelum acara Bang-Bang Wetan bulan ini dilaksanakan, saya dihubungi atasannya Jusuf Kalla (SBY).

”Spontan saya mengiyakan, namun dengan syarat pertemuan itu hanya empat mata saja, pada pukul 10 malam dan tempatnya di Jogjakarta,” tutur suami Novia kolopaking ini di hadapan ratusan warga yang hadir malam itu.

Saat ditanya mengenai apa yang dibahas dalam pertemuan tersebut. Cak Nun menjawab bahwa forum demokrasi sejati, setiap orang memiliki hak dan kewajiban bersama untuk mensilaturrahmikan segala kemungkinan kemaslahatan bersama. Dalam artian pola pergerakan dan perjuangan poltik di Indonesia.

”Oleh karena itu saya berkewajiban untuk membahasnya pada kesempatan kali ini,” imbuh pria asal Peterongan Jombang ini.

Tak mau kalah dengan Cak Nun, Sukowidodo juga bercerita tentang kehadiran tokoh-tokoh republik mimpi di Gubeng Kertajaya Surabaya beberapa waktu lalu, untuk syuting acara yang ditayangkan salah satu stasiun swasta. ”Kebetulan waktu itu saya diminta menemani SBY, JK, Gus Pur, dan Pak Habudi,” sambungnya.

Lebih lanjut Suko pun menjelaskan bahwa malam ini di acara Bang-Bang Wetan ini kita tidak sedang bermimpi. Jadi kita harus serius memikirkan hal-hal baru demi terwujudnya suatu perubahan, yang pasti dapat terjadi sekian waktu.

Melihat kondisi bangsa yang mulai dapat dikatakan bak zaman anomali (zaman tatkala tidak adanya rasa saling percaya), tidak percaya pada pola-pola pemerintahan atau apapun menyangkut negara. Suko meminta pada segenap adik-adik mahasiswa yang hadir dalam forum ini agar turut berfikir terhadap berbagai permasalahan yang melanda bangsa.

Setelah mendapatkan tekanan dari Cak Nun dan Suko, giliran salah seorang perwakilan mahasiswa yang kebetulan duduk sebagai narasumber akhirnya buka mulut. Simen, mengambil contoh cerita pada film ’Soe Hok Gie’. Dirinya menanggapi bahwa negara kita bagai euforia semata. Yang mana kala itu mahasiswa tak hanya koar-koar menyikapi Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) belaka. Namun, di antara mereka banyak yang menentang imperialisme penjajahan baru.
Melihat realita yang terjadi saat ini, mahasiswa-mahasiswa kita kurang greget dalam bersikap. ”Seperti impor beras dan sempat diberitakan di harian Kompas, jika Amerika Serikat mulai melirik tambang uranium (Ur) di Kalimantan yang kadarnya lebih tinggi daripada yang terdapat di Timur Tengah,” tegas mahasiswa Unair tersebut.

Tak pelak argumen singkat Simen, di sambut tepuk tangan riuh dari ratusan warga yang hadir. Senada dengannya, mantan Ketua Partai Partai Rakyat Demokrat (PRD) Surabaya M. Sholeh merasa mahasiswa kian merosot kekritisannya. Hal ini dapat dilihat dari sisi hukum, poltik, maupun ekonomi. Apa yang dituntut oleh mahasiswa belum setarus persen.

Bicara soal gerakan buruh misalnya entah karena fase apa seperti ada kejenuhan. Sama dengan mahasiswa semakin tahun gerakan dan kekritisannya kian menipis. Berbeda dengan tahun 1998, berbeda dengan tahun 1996. Begitu pula tidak adanya realisasi daripada aspirasi perjuangan pola pergerakan yang berdampak pada kejenuhan dalam segala lapisan.

Melihat kondisi seperti ini, maka harus ada sebuah isu bersama agar dapat jadi pemicu kekritisan bersama. Sehingga dapat dirasakan situasi politik mampu berjalan stagnan.

“Sekaligus inilah bukti demokrasi betul-betul telah di tangan rakyat,” tegas Sholeh. (M. Ridlo’i)