Friday, March 23, 2007

RUMAH RAJUNGAN DI PULAU MENGARE


Ibu-ibu tampak sedang memilah daging rajungan (sejenis kepiting) dari kulitnya, Kamis (22/03). Rumah usaha (Home Industry) pengelolahan daging rajungan (sejenis kepiting) ini terdapat di Kramat (P. Mengare), Bungah, Gresik......... Berita selengkapnya baca berita di bawah berjudul 'Yang Tersisa dari Pulau Mengare............



Sebelum dipilah rajungan-rajungan tersebut terlebih dulu dilakukan proses perebusan hingga memakan waktu sekitar 30 menit. (M. Ridlo'i/Guntur IP)

SENYUM ANAK PANTAI









Ceria di tepi Pulau. Keempat anak ini tampak begitu asik bermain di tepi P. Mengare Bungah Gresik. Mereka seolah tak khawatir dengan bahaya gelombang laut pasang, Kamis Sore (22/03). (M. Ridlo'i)


Dari gambar di atas pulau Sapoloh, Sumenep, Madura tampak terlihat. Foto ini diambil dari laut lepas Pulau Mengare, Bungah, Gresik. (M. Ridlo'i)

YANG TERSISA DARI PULAU MANGARE

Gapura selamat datang Pulau Mengare, Bungah, Gresik. Bangunan ini adalah pintu masuk dan keluar saat kita mendatangi pulau tersebut. (M. Ridlo'i/Acta Surya)





Sumur Tua. Bekas Sumur Peninggalan Belanda, penduduk setempat menamai peninggalan Belanda ini dengan istilah 'nomeran'. Termasuk sumur di ini yang terkenal dengan nomer 6. Letaknya dekat rumah sesepuh Pulau Mengare, mbah Bohlan di Dusun Kramat Watu Agung Pulau Mengare. Foto diambil pada Kamis (23/03): M. Ridlo'i/Acta Surya

Satu-satunya saksi hidup. Damar Wulan (89), satu-satunya saksi sejarah keberadaan Pulau Mengare, Bungah, Gresik Jawa Timur. Sayangnya ingatan kakek yang kerap disapa Mbah Bohlan akan sejarah P. Mengare sudah lemah. Foto: M. Ridlo'i/ Acta Surya

Goa persembunyian Belanda. Banyak warga setempat yang beranggapan jika goa yang terkenal dengan istilah nomer 3 ini menghubungkan desa Kramat P. Mengare dengan P. Sumenep Madura. Foto: M. Ridlo'i/ Acta Surya.



Suasana mistik, keramat, sejarah, dan nuansa Madura begitu terasa di Dusun Kramat (Pulau Mengare) Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik.

Di selak-belukar pulau tersebut banyak ditemui bekas-bekas bangunan bersejarah jaman penjajahan Belanda. Seperti halnya sebuah sumur tua yang terletak Dusun Kramat. Di dekatnya juga ditemukan sebuah jublang (semacam tempat pemandian, red).

Sementara itu, di tempat lain juga ditemukan empat buah bekas goa-goa persembunyian pasukan tentara Belanda dari rakyat Indonesia. Tepatnya di hutan yang ada di Dusun Watu Gajah dan Karang Liman.

Warga setempat menyebut aset-aset bersejarah tersebut dengan istilah nomeran. “Istilah nomeran diberikan pada sisa-sisa bangunan Belanda itu, agar kita mudah nitenine (mengingatnya),” ujar M. Sholeh (25) warga Watu Gajah pada Acta Surya Kamis siang (23/03).

Sholeh menambahkan kini nilai sejarahnya telah hilang setelah batu-batu bangunan tersebut diambil orang. “Akan tetapi tak lama sebelum pergi jauh dari lokasi pengambilan orang tersebut langsung meninggal,” imbuhnya.

Menurut keterangan salah seorang saksi sejarah Pulau Mengare, Damar Wulan (89) menjelaskan tentara Belanda datang ke sini sekitar tahun 1920-an. “Dan maaf mengenai sejarah lainnya saya sudah lupa,” ucap kakek yang kerap disapa Mbah Bohlan ini, sembari mencoba mengingat berbagai peristiwa lalu.

Legenda Putri Solo dan Ular

Tatkala kita singgah di suatu daerah, pasti banyak kisah yang bercerita tentang asal-usulnya. Begitu juga di Pulau Mengare, banyak kisah di balik kesunyian tempat ini. Awal mula Pulau yang memiliki jumlah penduduk sekitar 9.200 jiwa itu terkuak dari sebuah legenda Putri keraton Solo dan seekor ular raksasa.

Mulanya sang putri keraton Solo melarikan diri dari perjodohannya dengan lelaki bangsawan asal Cina. Sang Putri pun pergi seorang diri dengan naik perahu menyisiri Sungai Bengawan Solo menuju jalur pantai utara menuju ke arah timur.

Hingga akhirnya Sang Putri terdampar di Bengawan Legowo atau (kini; Telaga Pacar), yang terletak di Dusun Kramat, Pulau Mengare. Sang Raja (Ayahanda Sang Putri) pun geram mengetahui kaburnya putrinya. Dan ia mengutus seekor ular raksasa milik keraton untuk mencari putrinya dengan menyisiri jalur pantai utara. Alhasil, Sang Putri pun ditemukan oleh ular tersebut. Berkat bujukan ular jika perjodohan dibatalkan, akhirnya Putri mau kembali ke keraton.

Sayangnya, niat buruk ular tersebut diketahui seorang waliyullah kota Gresik, yakni Sunan Giri (Raden Paku). Yang kala itu menguasai penyebaran ajaran islam di kota pudak.

Sunan Giri akhirnya mengutus Sunan Karebet (Jaka Tingkir) untuk mengutuk ular tersebut. Sempat terjadi pertarungan sengit, namun ular kalah hingga akhirnya mati dengan kondisi mengelilingi Pulau Mengare (kini,red).

Menurut cerita dari salah seorang sesepuh Dusun Kramat, Mohammad Ahnan (54) mengatakan jika tubuh mayat ular itu akhirnya terbagi menjadi tiga bagian. Yaitu bagian kepala adalah Dusun Kramat, bagian perut adalah Dusun Tajung Widoro, dan bagian ekor adalah Dusun Mentani (Watu Agung).

“Dan ketiga tempat itulah yang akhirnya menjadi bagian dari Pulau Mengare,” kata bapak 3 anak itu sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.

Saat ditanya siapakah tokoh pertama kali yang babat alas Pulau Mengare. Ahnan mengatakan tokoh itu bernama Dimas Sulthan Kertabumi, salah seorang utusan kerajaan Panjaluh Tasikmalaya Jawa Barat. Yang makamnya dapat dijumpai pedukuhan Ujung Sawo Dusun Kramat.

Mata Pencaharian Penduduk

Suasana pagi hari hingga malam hari di Pulau Mengare tampak begitu sepi. Aktifitas keseharian warga setempat bagi yang laki-laki kebanyakan melaut (nelayan) di Selat Madura. Terkadang ada juga yang bekerja sebagai buruh tambak yang letaknya hampir mengitari kepulauan tersebut. Sedangkan bagi yang perempuan lebih banyak tinggal di rumah sebagai ibu rumah tangga.

Dari hasil tangkapan nelayan setempat kebanyakan mereka mencari rajungan (sejenis kepiting), cumi-cumi dan udang. Setelah itu mereka jual kepada tengkulak.

Khusus untuk rajuangan dijual nelayan pada sebuah Home Industry (rumah usaha) bernama ‘mini plant’, milikKholib Mawardi. Usaha tersebut berupa pengelolahan daging rajungan untuk di ekspor ke luar negeri, seperti Amerika, inggris dan Jepang.

“Ya, rajungan-rajungan ini kami beli dari nelayan dengan harga berbeda tergantung isinya dalam setiap kilogramnya,” tutur Miftahudin (36), penanggung jawab mini plant (22/03).

Lebih lanjut Miftahudin mengatakan rajungan dibeli per kilogramnya dengan isi 12 ekor untuk ukuran paling kecil dengan harga Rp. 22 ribu. “Dan harga itu untuk nelayan, beda lagi dari tengkulak biasanya saya beli dengan harga Rp. 25 ribu,” imbuhnya.

Rajungan-rajungan itu, sebelum di masukan ke dalam toples. Lebih dulu dilakukan proses perebusan selama 30 menit dengan suhu air mendidih dan tinggi air 4-5 cm. Setelah itu rajungan matang dimasukkan ke dalam ruang pendingin.

“Setelah direbus berat rajungan berkurang sekitar 7,5 kilogramnya,” ungkap Dwi Purnomo (26), salah seorang pegawai mini plant, yang kini jumlah pekerjanya mencapai 82 orang.

Kemudian, rajungan matang dimasukkan ke dalam ruang proses pemilahan daging. Di sini daging-dagingnya akan dipilah sesuai jenisnya menurut bentuk tubuh rajungan. Hingga usai dipilah langkah selanjutnya dimasukkan ke dalam toples untuk dikirim ke perusahaan pengalengan daging ikan laut.

“Biasanya kami mengirimnya pada Phillips (Pasuruan) dan Bumi Menara Industri (BMI) di Surabaya,” ujar Miftahudin.

Lokasi Pulau Mengare

Pulau Mengare merupakan bagian dari Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik. Menuju ke lokasinya pun cukup mudah. Jalan paving selebar 2,8 meter dengan kiri dan kanannya lahan tambak di tambah semak belukar adalah satu-satunya jalan yang menghubungkan Desa Sembayat (Bungah) dengan Pulau Mengare.

Menuju ke lokasi Pulau ini dapat di tempuh lewat jalan tol Surabaya-Manyar. Setelah turun Manyar menuju Sembayat. Sesampai di Sembayat sebelum melintas di jembatan layang yang melintang di atas sungai Bengawan Solo, dijumpai sebuah jalan kecil dan ada beberapa orang yang menjaga portal (palang pintu masuk menuju Pulau Mengare).

Jarak portal Sembayat ke Pulau Mengare sepanjang 12 km. Setelah itu kita akan menemukan sebuah tugu yang bertuliskan ‘Selamat Datang Pulau Mengare Desa Watu Agung’.

“Berbeda dengan tiga tahun yang lalu jalan tersebut penuh lubang dan batu-batu besar berserakan” ujar mbok Sih, salah seorang pemiliki warung kopi (warkop) di Pulau Mengare.Dalam percakapan keseharian penduduk setempat menggunakan bahasa Madura. Hal ini kemungkinan karena letak Pulau Mengare sangat berdekatan dengan Sumenep Madura. Bahkan dari tepi laut Pulau Mengare kota Sapoloh Sumenep tampak jelas.

- M. Ridlo'i/Guntur IP

Saturday, March 17, 2007

SENANDUNG OMBAK DI PANTAI SELATAN BANYUWANGI

Berdiri menatap senandung ombak beriring, pasir di bibir pantai menghampar dan angin semilir serasa menyapu wajah. Panorama pantai selatan Banyuwangi seakan terus memanggil untuk dinikmati.

Awan hitam dan deru angin laut yang khas menyapa, ketika kami menginjakkan kaki pertama di sebuah kawasan pesisir yang bernama Pantai Lampon. Perjalanan dari jantung kota Banyuwangi menuju ke pantai ini memakan waktu sekitar tiga jam.
Kondisi jalanan yang kurang bersahabat bagi setiap pengunjung, karena penuh liku dan perlintasannya pun mengalami rusak berat. Seakan memberi kejutan tersendiri bagi setiap pengunjung yang baru pertama ke sana, seperti halnya kami.

Sekilas melempar pandangan ke sekitar, tak ada yang istimewa. Layaknya perkampungan yang berada di pinggir pantai. Pohon kelapa tumbuh dimana-mana. Dengan rumah-rumah penduduk yang letaknya berjauhan semakin menambah sepinya suasana Pantai Lampon.
Kondisi inilah yang akhhirnya dimanfaatkan oleh pasukan katak, dari satuan marinir Banyuwangi untuk menggelar latihan rutin di tepi pantai.

Birunya ombak laut dan semilir angin banyak juga dimanfaatkan pasangan pemuda yang sedang dimabuk asmara. “Kebanyakan mereka berdatangan pada hari Minggu,” ungkap Pak Urip, sembari menjaring ikan di bibir pantai tersebut.

Untuk sumber mata pencaharian penduduk setempat kebanyakan mereka nelayan. Namun, buruknya cuaca mulai awal Januari hingga akhir Februari berdampak pada ketidakberanian warga untuk melaut mencari ikan. “Oleh karenanya kami untuk saat ini hanya mencari ikan sebatas di bibir pantai saja dengan cara memancing dan menebar jala saja,” tutur Pak Urip.

Pantai Pulau Merah

Tak jauh dari Pantai Lampon kami menjumpai satu pantai lainnya, yang bernama Pantai Pulau Merah. Pantai ini dapat ditempuh dengan waktu sekitar satu jam dari Pantai Lampon. Suasananya pun jauh lebih sepi daripada Pantai Lampon.

Rindangnya pepohonan menambah asri gubuk-gubuk kecil yang menyebar di tepian pantai. Udara panas pun tersisihkan dengan hembusan angin pantai. Itulah nuansa Pantai Laut Merah.
Eksotika lainnya, sekitar 500 meter dari bibir pantai terdapat sebuah bukit seperti tanah lot (Bali), bedanya bukit ini berwarna merah hati. Hal inilah yang akhirnya pantai ini disebut sebagai Pantai Pulau Merah.

Selain itu, di sekitar kawasan pantai juga sering dijumpai hewan-hewan liar dan ganas, seperti harimau, ular dan sejenisnya. Namun, rasa takut tak pernah terlintas sedikit pun di benak masyarakat setempat. Terlebih saat mereka mencari kayu di pantai tersebut tatkala air surut.
Mengenai sepinya penduduk yang tinggal di sekitar pantai, Sumiati mengatakan jika penduduk masih merasa trauma dengan peristiwa tsunami yang pernah melanda kawasan ini pada 1939 lalu.

Pantai Pancer

Merasa belum puas, perjalanan terakhir kami lanjut di Pantai Pancer, yang letaknya sangat dekat dengan Pantai Pulau Merah, yakni sekitar 20 menit. Suasananya pun tampak lebih ramai dari pada kedua pantai sebelumnya. Di sekitarnya juga terlihat banyak sekali rumah-rumah penduduk. Selain itu, terlihat aktivitas para nelayan mulai dari membuat atau sekedar memperbaiki jala. Ada pula yang berdagang ikan hasil tangkapannya.

Di pantai ini juga terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI). “Jadi ikan-ikan segar dari laut dapat kita jumpai di tempat pelelangan tersebut sekalian membelinya,” tunjuk salah seorang warga setempat pada Acta Surya.

Karena terletak di gugusan Pulau Jawa sebelah selatan, maka pantai ini sangat sayang bila dilewatkan tanpa sempat menikmati. Datang dan merasakan sapa lembut angin lautnya, meraba halus untaian pasirnya sembari mendengarkan senandung ombaknya yang biru.

- naskah dan foto : jarot budi, wirawan choiron

BERKAH KEPEDULIAN SOSIAL SEORANG MURPHY

Tak pernah terlintas di benak Murphy Josua Sembiring untuk berhenti berkampanye bahaya HIV/AIDS dan Narkoba.

Berbagai cara dilakukannya dalam pencegahan virus mematikan itu. Mulai dari mendirikan LSM, penyuluhan di berbagai tempat hingga membuat film indie bertemakan ‘Sahabatku’. Dari film yang berkisah tentang ajakan pada remaja agar tidak terkena Narkoba tersebut, Murphy mendapat pernghargaan dari SCTV tahun 2000.

“Semua saya lakukan sepenuh hati, dengan tanpa meminta imbalan apa pun,” aku lelaki yang kini berusia 45 tahun ini untuk mengawali ceritanya.

Berangkat dari sebuah keprihatinan lah, yang membuat dirinya rela menghabiskan waktu demi kegiatan sosial ini. Hal ini seperti yang dituturkan bapak tiga anak ini pada Acta Surya, “Konon dikelompok-kelompok tertentu, orang yang terkena Aids dan pecandu narkoba dikucilkan dan dianggap sampah oleh sebagian masyarakat”.

“Hal itulah membuat saya terdorong untuk menolong mereka, mereka kan juga manusia dan masuk ke dunia hitam juga bukan pilihan hidup mereka,” imbuhnya.

Pantas sekali berkat kepeduliannya terhadap bahaya HIV/AIDS dan Narkoba yang telah melanda generasi muda kita. Sebuah piagam penghargaan dari Menteri Kesehatan berupa gelar ‘Ksatria Bhakty Husadha Arutala’ diberikan padanya. Piagam yang terpampang di dinding ruang tamu rumahnya itu, ia peroleh pada 15 Desember 2006 lalu di Malang.

Dari perjuangannya selama ini, pengalaman cukup menggelitik pernah dialaminya. “Menariknya dari sebagian mahasiswa saya merasa heran mengapa dirinya blusukan ke lokalisasi-lokalisasi. Dari situ mereka mencurigai saya adalah pelanggan,” ungkap dosen ekonomi Stikosa-AWS kelahiran Binjai ini.

Cipayung ke Prospana

Sekitar tahun 1982, sewaktu Murphy duduk di bangku kuliah. Dirinya aktif di organisasi Cipayung, yang bergerak di bidang sosial kerohanian. Baru sekitar tahun 1993 saya memilih pindah jalur kegiatan, yakni aktif bergelut dalam hal pemberantasan HIV/AIDS dan Narkoba.

“Waktu itu pula saya mendapatkan kerjasama dari salah seorang anggota Kedubes Amerika Serikat, yang menwarkan pendirian sebuah LSM yang bergerak di bidang pencegahan HIV/AIDS dan Narkoba,” kenangnya. Alhasil, di tahun itu pula berdiri LSM Prospona. Di LSM inilah semua usaha dicurahkannya untuk membantu “mereka” yang dikucilkan oleh lingkungannya. Tak hanya itu saja dia pun belajar tentang seluk beluk HIV/AIDS dan Narkoba di Bangkok dan Thailand.

“Dari sana saya belajar bagaimana cara menangani permasalahannya. Karena di Thailand minimal satu menit satu orang meninggal.” tutur mantan Dekan di Universitas Wijaya Putra (UWP) Surabaya.

Konsep yang digunakan Murphy setiap penyuluhan adalah cegah HIV/AIDS dan Narkoba dengan berbasis pada masyarakat. Menurut Murphy tingkat keberhasilan metodenya dapat dilihat dari 12 kecamatan di Surabaya yang telah didatanginya.

Rata-rata satu tempat menunjukkan tingkat keberhasilan sebesar 75 persen, dengan total pendidik sebanyak 90 orang dan ia telah melatih 234 orang pendidik sebaya. Yang bertugas memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara pencegahan dan penanggulangan AIDS dan Narkoba.

Tak hanya penyuluhan mereka juga mendampingi orang yang terinfeksi Aids dan pecandu Narkoba. “Ada juga orang yang terinfeksi virus ini dan mantan pengguna narkoba yang menjadi relawan,” tambahnya. Seiring tekunnya Murphy terhadap gerakan anti-HIV/AIDS dan Narkoba. Seiring perjuangan Murphy, semoga cepat pula terselesaikan bahaya mematikan tersebut.

- wirawan choiron, dimas prasaja


Curiculum Vitae

Nama
Murphy Josua Sembiring, Msi.

Tempat / Tanggal Lahir
Binjai, Sumatera Utara / 4 Februari 1962

Alamat Rumah
Jl. Medayu Selatan IV / 28 Surabaya

Profesi

  • Mantan Pengajar di Stie O & G jayapura (87-91),
  • Mantan Dekan Fakultas Ekonomi UWP Surabaya (1996- 1999),
  • Dosen Unitomo (2000-sekarang),
  • Dosen Ekonomi Stikosa-AWS (sekarang)
Nama Istri
Dra. Renny Rahayu

Nama anak
Geovani Caroline, Gitta Malinda, Gareth Pindonta

Hobbi
Tenis

Organisasi / Institusi
  • Pengurus DPD Knpi Jatim 2 periode (1999-2005),
  • Ketua Umum forum Komunikasi Kopertis Jatim (2005-sekarang),
  • Ketua Forum LSM Peduli AIDS Se-Jatim (1999-2002),
  • Ketua LSM Prospana (Sekarang)

Prestasi
  • Penghargaan partisipasi bidang kesehatan dari Dinas Kesehatan Jatim tahun 2002
  • Penghargaan sebagai Tim Penilai Lembaga Kesehatan Selatan Nasional Khusus Bidang Pemberdayaan Masyarakat
  • Penghargaan Ksatria Bakti Husada Arutala dari menteri kesehatan RI (15 Desember 2006)

MUTU SDM TV LOKAL MASIH MINIM

Minimnya tenaga professional yang dimiliki beberapa stasiun televisi lokal. Mendapat tanggapan dari Direktur Operasional Lembaga Konsumen Media (LKM) Surabaya Suprihatin.

“Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu dalam bidang jurnalisme sepatutnya dimiliki pertelevisian lokal di Indonesia,” katanya pada Acta Surya. Dengan hadirnya orang-orang yang memahami jurnalisme, lanjut Suprihatin, berarti media tersebut akan menghadirkan pemberitaan yang proporsional dan kental budaya lokal.

Menurutnya, perbaikan kualitas tenaga pengelola tersebut dapat dilakukan dengan pelatihan secara berkala. Hal ini diperlukan, karena selain untuk melatih kemahiran dalam pengoperasian alat dan pemahaman media terkini. juga untuk membantu SDM mengenali proses penciptaan kreativitas (externalitation).

“Pemberian penghargaan dan sanksi (reward and punishment), dirasa cukup efektif untuk mengasah mentalitas SDM yang tersedia,” imbuhnya. Ditanya, bagaimana mengukur keberhasilan TV lokal, menurutnya tidak hanya diukur dari pendapatan dari iklan saja. “Namun, juga sangat dibutuhkan strategi stasiun TV tersebut dalam mempertahankan identitasnya,” tegasnya.

Ia pun memberi contoh Bali TV. Salah satu stasiun TV Lokal yang berhasil menjadi counter culture dari budaya asing. Bali dirasakannya sebagai daerah yang terbuka terhadap budaya asing. Akan tetapi Bali juga tidak ragu untuk mempertahankan tradisi yang dimiliki.

Segmentasi dan isi acara yang ditentukan sebuah stasiun TV Lokal, tentu masih diharapkan menciptakan identitas dan pangsa pasarnya sendiri. “Oleh sebab itu, masyarakat lebih memilih tayangan yang informatif dan sesuai dengan kebutuhannya,” katanya.

- windy goestiana

KEMBANG KEMPIS TV LOKAL DI TAHUN BABI API

Mengetahui maraknya perkembangan televisi lokal pada tahun babi api ini. Teringat dengan yang dikatakan salah seorang alumni kampus saya, dalam tulisan di blogspotnya.“Bahwa dalam menata dunia penyiaran di Indonesia diperlukan konsep matang,” tulisnya kala itu.


Ya, lalu dia berkata, ”menata hal tersebut ibarat memodifikasi barang antik menjadi barang baru, ‘useful’ bagi masyarakat”. Lebih lanjut menurutnya, konsep matang itu adalah mencangkup strong (kekuatan), weakness (kelemahan), opportunity (kesempatan) dan threat (ancaman). Atau bahasa kerennya SWOT penyiaran.

Menilik dari sini, patut kiranya sedikit review mengenai persoalan-persoalan yang hinggap di dunia pertelevisian kita –Indonesia-. Penghujung tahun 2006, dunia pertelevisian sempat digemparkan dengan sebuah acara yang bernama ‘Smackdown’. Banyak anak dibawah umur yang menjadi korban tayangan tersebut.

Mencoba mengkaji. Bila tidak salah setiap produksi acara sebelum disiarkan terlebih dulu dilakukan pengkajian atau sensor. Yang dilakukan oleh badan atau instansi terkait. Namun, bila terjadi persoalan seperti di atas, timbullah pertanyaan siapakah yang layak dimintai tanggung jawab dalam hal ini?

Itulah, sekelumit dampak negatif pertelevisian di Indonesia. Positifnya, berkah reformasi semua telah berubah. Puncaknya keluarlah Undang-Undang (UU) Penyiaran no. 32/2002. Yang mana UU tersebut menjadi wewenang sebuah lembaga independen Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Tak hanya berhenti sampai di sini. Beberapa pebisnis pertelevisian mencoba memanfaatkan keberadaan UU tersebut dan tentunya juga berpijak pada UU Kebebasan Pers. Seperti telah diketahui banyaknya bermunculan televisi-televisi lokal.

Merujuk kembali pada 9 Februari atau yang kerap kita peringati sebagai hari Pers. Di tahun shio babi api ini tema yang diambil dalam peringatan tersebut, adalah ‘Mewujudkan Pers Independen yang Berkualitas untuk Memperjuangkan Kesejahteraan Bangsa’.

Uhhh, sungguh luar biasa tema ini. Sudahkah pers di Indonesia ‘independen’? Telah berkualitaskah pers kita?. Betulkah Pers kita telah ikut serta mencerdaskan bangsa?
Pers didalamnya melingkupi banyak hal, termasuk diantaranya penyiaran pertelevisian. Sebelum televisi-televisi lokal bermunculan, keberadaan beberapa stasiun televisi saja begitu meresahkan kita –masyarakat-.

Lantas, bagaimana dengan sekarang setelah banyak bermunculan televisi lokal. Antara pikiran bisnis beriring dengan keindependenan.

Pertama, kekhawatiran muncul apabila badan yang terkait dalam hal pengawas penyiaran. Tak total mengetahui jika masyarakat dapat mengalami perubahan persepsi dan nilai moral menontonnya.

Kedua, masyarakat sebagai penguasa tunggal penentu program-program siaran televisi. Sebuah acara akan menentukan rating. Bahwa program yang bagus dan enak ditonton pasti memilki nilai lebih (maksud: makin lama dan makin menarik tayangannya, tentunya makin mahal).

Berangkat dari kedua hal tersebut semoga kembang kempis pertelevisian lokal tetap dapat teratasi dengan tetap memperhatikan aspek sosial kemasyarakatan.

- M. Ridlo’I