Wednesday, July 25, 2007




Paru-Paru Kota Buaya

Polusi udara yang menyelimuti kota-kota besar terasa sulit terelakkan. Berbagai upaya dilakukan, seperti halnya dengan penanaman pepohonan di sepanjang jalan kota.

Untuk mengatasi kendala ini pemerintah kota Surabaya misalnya telah membangun paru-paru kota. Tepatnya adalah kebun bibit Bratang Surabaya. Sejak tahun 1970-an tempat tersebut berfungsi sebagai oase kota.

Di dalamnya terdapat penanaman berbagai bibit tanaman langkah dan pembuatan Pupuk Kompos. Dari situ muncul harapan tercegahnya polusi udara di kota Buaya ini. Tak berhenti sampai di sini Kebun Bibit juga dimanfaatkan warga sebagai wahana rekreasi kecil. (Naskah/Foto:Dhimas Prasaja)











Monday, July 23, 2007

OPINI

Derajat Tinggi sang Oposisi
(oleh: M. Ridlo'i/Pimred Acta Surya dan mahasiswa Stikosa-AWS)

Sebelum pembaca tulisan ini sampai rampung perkenankan saya memberi kesimpulan bahwa intinya berpikir jadi oposisi itu lebih terhormat daripada berpikir ’feodalisme absolut’.

Seperti halnya yang diutarakan mendiang Nurcholis Madjid (Cak Nur) dalam tulisannya berjudul ’Menjadi Oposisi Itu Terhormat’. Ia menjelaskan bahwa melihat perkembangan masyarakat sekarang ini, rupanya masih dikuasai kerangka berpikir feodalisme absolut (yang wujudnya antara lain, adanya dambaan menjadi priyayi. Anak dikirim ke sekolah supaya suatu saat dapat menjadi priyayi, menjadi ’wong pangkat’).

Dengan kata lain nilai-nilai kritisme terhadap perjuangan aspirasi yang sesungguhnya terkalahkan begitu saja dengan godaan tahta dan harta. Seperti kita rasakan tahta dan harta berada di mana ada kesejajaran yang sangat mengkhawatirkan di negeri kita ini.

Melihat gejala yang sangat mengkhawatirkan ini, sudah seharusnya kita terus-menerus menanamkan kembali ide mengenai oposisi sampai tiba saatnya di mana seseorang merasa terhormat menjadi oposisi, merasa terhormat berada di luar pemerintahan, dan merasa terhormat tidak mempunyai derajat atau pangkat seperti yang dipahami dalam masyarakat yang dijiwai oleh feodalisme absolut itu.

Oposisi tidak perlu dipahami sebagai sikap menentang (to oppose memang berarti menentang), sebab dalam oposisi kita ada pula segi to support-nya, sehingga dalam konteks politik, oposisi lebih merupakan kekuatan penyeimbang, suatu check and balance, yang bisa membuat perasaan-perasaan tersumbat tersalurkan.

Bagaimana dengan kita?
Baru-baru ini Stikosa-AWS yang terlihat adem-ayem saja mendadak mulai ramai dengan munculnya aksi yang dihimpun oleh komunitas baru mahasiswa aktif.

Mahasiswa yang terkumpul di dalamnya mencoba jadi sang oposisi. Dalam artian bertindak sebagai penyeimbang kekuasaan tunggal di kampus kita. Seperti kita ketahui terdengar nada-nada yang ingin memunculkan nama HM. Nadim Zuhdi untuk terpilih kembali menjadi AWS 1.

Ketidakberhasilannya dalam mengangkat pamor kampus candra dimukanya jurnalis ini selama empat tahun kepemimpinannya, rupanya jadi tolak ukur sebagian mahasiswa untuk mengadakan proses pemilihan ketua Stikosa-AWS melalui jalan pemilu raya.

Tentu, dari perjuangan dapat terjaring munculnya kandidat kuat lainnya. Sehingga kedemokratisan itu dapat muncul dan tercapai bagi kita. Akan tetapi yang patut ditanamkan pada jiwa kandidat yang seandainya mereka terpilih menjadi ketua di kampus ini adalah jangan memiliki pikiran feodalisme absolut, akan tetapi jadilah sang oposisi.

Oleh karenanya bagi semua yang merasa sebagai mahasiswa himbauan sebagai pintu gerbang perubahan ada di tangan dan pikiran anda. Namun, sangat disayangkan bila di hati anda sudah tak berjiwa oposisi. Padahal menjadi oposisi lebih mulia daripada menjadi seorang priyayi.




Denyut Asmara Kembang Kuning

Deru mesin kendaraan yang lewat di perkampungan Kembang Kuning terdengar begitu ramai. Begitu ramainya, seakan nilai sejarahnya lekang karena suara-suara tersebut.

Menjelang matahari bergeser tepat di atas kepala, beberapa anak kecil tampak asik bermain di altar makam Wiro Soerojo (mbah karimah) di Kembang Kuning Surabaya. Suara canda tawa mereka seolah tak mengusik peziarah yang sedang sejenak istirahat di pendopo makam.

Orang-orang itu duduk bersila di lantai pendapa. Terhanyut dalam doa dan keheningan hati yang khusuk. Lirih do’a terucap terdengar beriringan dengan semilir angin dari pepohonan yang rimbun.

Suasana ini begitu terasa mendalam seiring dengan rangkaian sejarah yang mengalir dari cerita mbah karimah dan sejarah kampung Kembang Kuning, yang kata masyarakat setempat menyimpan kisah asmara yang patut digali.

Konon, awal kisah Kembang Kuning bermula dari bocah kecil bernama Samputoalang yang mulai beranjak dewasa memohon ijin kepada kedua orang tuanya untuk mengunjungi bibinya di kerajaan majapahit (kini tanah Jawa, red). Dan bocah itu bernama Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Kemudian Samputoalang diajak untuk menghadap Raja Mojopahit yang juga suami bibinya yaitu Ratu Darawati, (putri Kianhien) yang lebih terkenal dengan sebutan Putri Cempo.

Lama tinggal di kerajaan tersebut, Samputoalang berniat menyebarkan Islam di tanah Jawa. Alhasil, Raja Kertawijaya meminta padanya untuk memimpin rakyat yang tinggal di daerah Ampel. Saat itulah namanya pun berubah menjadi Raden Rahmatullah.

Melihat penyebaran Islam semakin pesat Raja Mojopahit akhirnya geram. Seperti halnya yang dijelaskan salah seorang warga setempat Dayat, bahwa kala itu sang Raja memutuskan untuk mengasingkan Samputoalang di hutan belantara yang ada di tempat itu (kini Wonokromo, Wonoboyo, Wonokitri, dan Wonosobo, red).

Setelah sekian lama di pengasingan Raden Rahmat memutuskan untuk membangun sebuah masjid. Masjid itupun kemudian dibangun di daerah pertengahan kademangan Cemoro Sewu, yaitu masih terletak di tengah-tengah kawasan Ampel Dento.

Berdirinya masjid tersebut adalah sebagai masjid tertua di Jawa Timur. Mengenai kapan pastinya bangunan tersebut berdiri tiada yang yang mampu membuktikan dan akhirnya masyarakat setempat menamainya dengan masjid Tiban. Namun, kini nama itu berganti menjadi masjid Rahmat.

Pada masa pendirian masjid tersebut, seringkali pada saat istirahat tiba, Nyai Karimah putri Ki Demang Wiro soerojo mengantarkan makanan. Karena seringnya bertemu maka timbullah ketertarikan di antara keduannya. Akhirnya mereka menikah dan dikaruniai dua orang putri yang diberi nama Siti Murtosima dan Siti Murtosiah. (Naskah: Shiska Pradibka/Foto: Dhimas Prasaja)



TAMU ACTA




Berita Pertamina Gugah Keinginan Jadi Wartawan

Pria berusia berusia 56 tahun yang memiliki nama lengkap Zainal Arifin Emka ini, mengaku keinginannya menjadi wartawan bermula dari pemberitaan sebuah surat kabar yang kala itu memberitakan kebobrokan Pertamina.

"Pada saat itu jarang ada yang berani mengkritik kebobrokan dalam tubuh pertamina. Sejak saat itu saya berpikir wartawan itu hebat, dan saya kagum dengan cara kerjanya," kenangnya.
Lebih lanjut dosen Stikosa-AWS kelahiran Jember mengatakan seandainya pemerintah pada saat itu tidak menekan pers, mungkin pertamina tidak sebobrok sekarang. Bahkan bisa dianggap sebagai negara penghasil minyak, tetapi malah jadi negara pengeksport minyak.

Peristiwa tersebut yang membawanya mengenyam pendidikan jurnalistik lebih dalam di AWS pada tahun 1975. Dan pada masa itu ia sudah aktif menulis untuk mingguan mahasiswa. "Itu juga karena dulu saya pernah mengikuti pendidikan pers yang diadakan oleh Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI)," ungkap mantan Ketua Bidang Pendidikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) 1996-1999 ini.

Pada saat yang bersamaan pula profesi kewartawanan mulai dijalani dengan menjadi stringer di harian Surabaya Post. Sehingga di tahun 1978 media tersebut mengangkatnya menjadi wartawan tetap.

Selama 23 tahun mengabdi di Surabaya Post hingga terakhir menjabat sebagai pelaksana harian membuatnya begitu sulit meninggalkan media ini. Seperti yang dikatakannya saat Surabaya Post runtuh dirinya sempat resah. "Pada saat memilih keluar, rasa bingung begitu besar karena selama itu saya mendapat gaji, akan tetapi tiba-tiba saya tinggal." ujarnya.

Mengabdi di Stikosa-AWS
Bagai Kulit kacang yang tak lupa dengan isinya. Selesai masa pengabdian jadi wartawan di Suarabaya Post, membawa Zainal kembali mengabdi di Stikosa-AWS.
Bekal menjadi asisten dosen mata kuliah reporting di kampus tersebutlah yang membuatnya dipercaya untuk menjadi pengajar.

"Pada saat itu saya juga diminta mengajar di AWS, saya masih ingat pertama kali saya mengajar menjadi asisten pak Amak mengajar mata kuliah reporting. Padahal saat itu saya hanya melihat dan ikut duduk bersama mahasiswa," lanjut mantan wartawan 'Indonesia Membangun' 1975-1977 itu.

Namun hal itu tak lantas membuatnya pasra jadi dosen saja dalam mencukupi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, kerapkali ia mengisi materi-materi jurnalistik di berbagai seminar dan pengetahuan akan jurnalistik dirinya mampu menerbitkan beragam karya tulis.

"Karya-karya itu saya tulis untuk sekedar ingin berbagi pengalaman tentang jurnalistik maupun pengalaman pribadi. Jadi sebisa mungkin kita bermanfaat bagi orang lain, minimal tidak merepotkan orang lain," jelasnya. (Naskah: Guntur IP/ Foto: Wahyu Triatmojo)


CURICULUM VITAE
Nama Lengkap : Zainal Arifin Emka
Tempat, Tanggal Lahir : Jember, 18 Januari 1951
Agama : Islam
Profesi : Dosen Stikosa-AWS
Alamat : Bendul Merisi Permai F-22 Surabaya

Pendidikan Formal : - Akademi Wartawan Surabaya (AWS) tahun 1975
- Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-AWS (Stikosa-AWS) tahun 1998

Pengalaman Kerja : - Wartawan/redaktur " mingguan mahasiswa"
(1971- 1975)
- Wartawan ’Indonesia Membangun’ (1975-1977)
- Wartawan Surabaya Post (1983-1984)
- Redaktur Daerah / Nasional 1984-1996
- Wakil Redaktur Pelaksana 1997-1998
- Pelaksana Haria / Wapimred 1999-2001

Karya Tulis yang Sudah Diterbitkan
*Wartawan Juga Bisa Salah
*Wartawan Seharusnya Tepercaya
*Berhaji Jalan Kaki
*Berebut Tas Temuan (Cerita Remaja)