Saturday, June 09, 2007

KABUT KELAM TELEKOMUNIKASI INDONESIA

Bobroknya citra pertelekomunikasian di Indonesia selayaknya patut untuk kita kaji ulang. Pengkajian itu meliputi dalam segala hal, misalnya pengkajian ulang terhadap tarif telepon selular kita.

Hal ini seperti yang diutarakan Vice President Gharu Mas Selaras Group Jakarta, Patrick Kwatno pada masyarakat di acara Bang-Bang Wetan yang diadakan di Balai Pemuda Surabaya pada Senin 28 Mei lalu. Ia mengatakan saat ini kita berada di milenium ketiga pada era informasi di jaman globalisasi, di mana peranan informasi sangat tinggi dan menjadi kebutuhan pokok.

Selain itu kita sebagai warga negara Indonesia patut berfikir kritis terhadap penyimpangan-penyimpangan yang menimpa pertelekomunikasian di negera ini. ”Salah satu contoh penguasaan Temasek (Singapore) pada beberapa perusahaan penyedia sarana telekomunikasi, hal ini terjadi di Indonesia maupun negara lain,” jelas Patrick.

Bahkan ia berani berpendapat inilah upaya-upaya yang menjadi pengatur arus informasi, selain dapat meraup keuntungan besar. Menurutnya keterangan ini berdasar pada teledensitas per-100 penduduk pemakai saluran telepon yang tetap (fix-wireline/fix-wireless) maupun saluran telepon yang bergerak (wireless-phone) dan sebarannya di Indonesia (saat ini), termasuk yang terendah di ASEAN.

Internasional Telekomunikasi Union (ITU) sebagai badan pertelekomunikasian PBB, bahkan pernah mengadakan perhitungan mengenai total pertumbuhan ekonomi dari sektor sarana dan jasa telekomunikasi di daerah tertinggal. Yang hasilnya 1 persen dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 3 persen.

Bagaimana dengan negara kita? Lebih lanjut Patrick mengungkapkan dari hasil penelitiannya selama 17 tahun bahwa sarana telekomunikasi ke luar negeri mayoritas ditangani oleh Indosat melalui satelit Internasional sebanyak 4 persen dan kabel laut sebanyak 96 persen.

”konversi data ke negara seperti Amerika dan Jepang (via kabel laut) dilakukan oleh Singapore sebelum Indosat di privatisasi,” ujarnya.

Patut kita ketahui Indonesia memiliki sentral gerbang Internasional, juga sebagai pemilik satelit Palapa C-1 dan palapa C-2. Kedua satelit tersebut notabene mempunyai orbit satelit Geostasioner yang didaftarkan atas nama Indonesia.

Letak satelit Geostasioner sendiri pada lintang katulistiwa pada ketinggian 35.788 kM dpl dan jumlah kaplingnya yang sangat terbatas, dengan total 240 satelit bila deviasi 1,5 derajat.
Melihat begitu strategisnya letak Geostasioner yang semula saluran langsung Internasional Indonesia ke luar negeri melalui satelit INTELSAT dilakukan oleh ITT. Terjadilah peralihan pemegang saham ITT yang dibeli pemerintah Indonesia dan kini menjadi milik yang strategis Indosat. Sedangkan satelit Palapa C-1 yang semula dimiliki Perumtel hingga kemudian dimiliki Satelindo dan akhirnya Satelindo dimiliki pula oleh Indosat.Tak berselang lama 42 persen saham Indosat dimiliki oleh Group Temasek melalui STT-STTC sebagai anak perusahaannya.

”Melihat beberapa keanehan tersebut kini tiba saatnya merakyatkan telekomunikasi agar dapat terealisir dan dapat mengembalikan harkat, martabat serta kejayaan bangsa di bidang informasi dan telekomunikasi,” tukas Patrick. (M. Ridlo’i)

No comments: