Friday, March 23, 2007

YANG TERSISA DARI PULAU MANGARE

Gapura selamat datang Pulau Mengare, Bungah, Gresik. Bangunan ini adalah pintu masuk dan keluar saat kita mendatangi pulau tersebut. (M. Ridlo'i/Acta Surya)





Sumur Tua. Bekas Sumur Peninggalan Belanda, penduduk setempat menamai peninggalan Belanda ini dengan istilah 'nomeran'. Termasuk sumur di ini yang terkenal dengan nomer 6. Letaknya dekat rumah sesepuh Pulau Mengare, mbah Bohlan di Dusun Kramat Watu Agung Pulau Mengare. Foto diambil pada Kamis (23/03): M. Ridlo'i/Acta Surya

Satu-satunya saksi hidup. Damar Wulan (89), satu-satunya saksi sejarah keberadaan Pulau Mengare, Bungah, Gresik Jawa Timur. Sayangnya ingatan kakek yang kerap disapa Mbah Bohlan akan sejarah P. Mengare sudah lemah. Foto: M. Ridlo'i/ Acta Surya

Goa persembunyian Belanda. Banyak warga setempat yang beranggapan jika goa yang terkenal dengan istilah nomer 3 ini menghubungkan desa Kramat P. Mengare dengan P. Sumenep Madura. Foto: M. Ridlo'i/ Acta Surya.



Suasana mistik, keramat, sejarah, dan nuansa Madura begitu terasa di Dusun Kramat (Pulau Mengare) Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik.

Di selak-belukar pulau tersebut banyak ditemui bekas-bekas bangunan bersejarah jaman penjajahan Belanda. Seperti halnya sebuah sumur tua yang terletak Dusun Kramat. Di dekatnya juga ditemukan sebuah jublang (semacam tempat pemandian, red).

Sementara itu, di tempat lain juga ditemukan empat buah bekas goa-goa persembunyian pasukan tentara Belanda dari rakyat Indonesia. Tepatnya di hutan yang ada di Dusun Watu Gajah dan Karang Liman.

Warga setempat menyebut aset-aset bersejarah tersebut dengan istilah nomeran. “Istilah nomeran diberikan pada sisa-sisa bangunan Belanda itu, agar kita mudah nitenine (mengingatnya),” ujar M. Sholeh (25) warga Watu Gajah pada Acta Surya Kamis siang (23/03).

Sholeh menambahkan kini nilai sejarahnya telah hilang setelah batu-batu bangunan tersebut diambil orang. “Akan tetapi tak lama sebelum pergi jauh dari lokasi pengambilan orang tersebut langsung meninggal,” imbuhnya.

Menurut keterangan salah seorang saksi sejarah Pulau Mengare, Damar Wulan (89) menjelaskan tentara Belanda datang ke sini sekitar tahun 1920-an. “Dan maaf mengenai sejarah lainnya saya sudah lupa,” ucap kakek yang kerap disapa Mbah Bohlan ini, sembari mencoba mengingat berbagai peristiwa lalu.

Legenda Putri Solo dan Ular

Tatkala kita singgah di suatu daerah, pasti banyak kisah yang bercerita tentang asal-usulnya. Begitu juga di Pulau Mengare, banyak kisah di balik kesunyian tempat ini. Awal mula Pulau yang memiliki jumlah penduduk sekitar 9.200 jiwa itu terkuak dari sebuah legenda Putri keraton Solo dan seekor ular raksasa.

Mulanya sang putri keraton Solo melarikan diri dari perjodohannya dengan lelaki bangsawan asal Cina. Sang Putri pun pergi seorang diri dengan naik perahu menyisiri Sungai Bengawan Solo menuju jalur pantai utara menuju ke arah timur.

Hingga akhirnya Sang Putri terdampar di Bengawan Legowo atau (kini; Telaga Pacar), yang terletak di Dusun Kramat, Pulau Mengare. Sang Raja (Ayahanda Sang Putri) pun geram mengetahui kaburnya putrinya. Dan ia mengutus seekor ular raksasa milik keraton untuk mencari putrinya dengan menyisiri jalur pantai utara. Alhasil, Sang Putri pun ditemukan oleh ular tersebut. Berkat bujukan ular jika perjodohan dibatalkan, akhirnya Putri mau kembali ke keraton.

Sayangnya, niat buruk ular tersebut diketahui seorang waliyullah kota Gresik, yakni Sunan Giri (Raden Paku). Yang kala itu menguasai penyebaran ajaran islam di kota pudak.

Sunan Giri akhirnya mengutus Sunan Karebet (Jaka Tingkir) untuk mengutuk ular tersebut. Sempat terjadi pertarungan sengit, namun ular kalah hingga akhirnya mati dengan kondisi mengelilingi Pulau Mengare (kini,red).

Menurut cerita dari salah seorang sesepuh Dusun Kramat, Mohammad Ahnan (54) mengatakan jika tubuh mayat ular itu akhirnya terbagi menjadi tiga bagian. Yaitu bagian kepala adalah Dusun Kramat, bagian perut adalah Dusun Tajung Widoro, dan bagian ekor adalah Dusun Mentani (Watu Agung).

“Dan ketiga tempat itulah yang akhirnya menjadi bagian dari Pulau Mengare,” kata bapak 3 anak itu sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.

Saat ditanya siapakah tokoh pertama kali yang babat alas Pulau Mengare. Ahnan mengatakan tokoh itu bernama Dimas Sulthan Kertabumi, salah seorang utusan kerajaan Panjaluh Tasikmalaya Jawa Barat. Yang makamnya dapat dijumpai pedukuhan Ujung Sawo Dusun Kramat.

Mata Pencaharian Penduduk

Suasana pagi hari hingga malam hari di Pulau Mengare tampak begitu sepi. Aktifitas keseharian warga setempat bagi yang laki-laki kebanyakan melaut (nelayan) di Selat Madura. Terkadang ada juga yang bekerja sebagai buruh tambak yang letaknya hampir mengitari kepulauan tersebut. Sedangkan bagi yang perempuan lebih banyak tinggal di rumah sebagai ibu rumah tangga.

Dari hasil tangkapan nelayan setempat kebanyakan mereka mencari rajungan (sejenis kepiting), cumi-cumi dan udang. Setelah itu mereka jual kepada tengkulak.

Khusus untuk rajuangan dijual nelayan pada sebuah Home Industry (rumah usaha) bernama ‘mini plant’, milikKholib Mawardi. Usaha tersebut berupa pengelolahan daging rajungan untuk di ekspor ke luar negeri, seperti Amerika, inggris dan Jepang.

“Ya, rajungan-rajungan ini kami beli dari nelayan dengan harga berbeda tergantung isinya dalam setiap kilogramnya,” tutur Miftahudin (36), penanggung jawab mini plant (22/03).

Lebih lanjut Miftahudin mengatakan rajungan dibeli per kilogramnya dengan isi 12 ekor untuk ukuran paling kecil dengan harga Rp. 22 ribu. “Dan harga itu untuk nelayan, beda lagi dari tengkulak biasanya saya beli dengan harga Rp. 25 ribu,” imbuhnya.

Rajungan-rajungan itu, sebelum di masukan ke dalam toples. Lebih dulu dilakukan proses perebusan selama 30 menit dengan suhu air mendidih dan tinggi air 4-5 cm. Setelah itu rajungan matang dimasukkan ke dalam ruang pendingin.

“Setelah direbus berat rajungan berkurang sekitar 7,5 kilogramnya,” ungkap Dwi Purnomo (26), salah seorang pegawai mini plant, yang kini jumlah pekerjanya mencapai 82 orang.

Kemudian, rajungan matang dimasukkan ke dalam ruang proses pemilahan daging. Di sini daging-dagingnya akan dipilah sesuai jenisnya menurut bentuk tubuh rajungan. Hingga usai dipilah langkah selanjutnya dimasukkan ke dalam toples untuk dikirim ke perusahaan pengalengan daging ikan laut.

“Biasanya kami mengirimnya pada Phillips (Pasuruan) dan Bumi Menara Industri (BMI) di Surabaya,” ujar Miftahudin.

Lokasi Pulau Mengare

Pulau Mengare merupakan bagian dari Kecamatan Bungah Kabupaten Gresik. Menuju ke lokasinya pun cukup mudah. Jalan paving selebar 2,8 meter dengan kiri dan kanannya lahan tambak di tambah semak belukar adalah satu-satunya jalan yang menghubungkan Desa Sembayat (Bungah) dengan Pulau Mengare.

Menuju ke lokasi Pulau ini dapat di tempuh lewat jalan tol Surabaya-Manyar. Setelah turun Manyar menuju Sembayat. Sesampai di Sembayat sebelum melintas di jembatan layang yang melintang di atas sungai Bengawan Solo, dijumpai sebuah jalan kecil dan ada beberapa orang yang menjaga portal (palang pintu masuk menuju Pulau Mengare).

Jarak portal Sembayat ke Pulau Mengare sepanjang 12 km. Setelah itu kita akan menemukan sebuah tugu yang bertuliskan ‘Selamat Datang Pulau Mengare Desa Watu Agung’.

“Berbeda dengan tiga tahun yang lalu jalan tersebut penuh lubang dan batu-batu besar berserakan” ujar mbok Sih, salah seorang pemiliki warung kopi (warkop) di Pulau Mengare.Dalam percakapan keseharian penduduk setempat menggunakan bahasa Madura. Hal ini kemungkinan karena letak Pulau Mengare sangat berdekatan dengan Sumenep Madura. Bahkan dari tepi laut Pulau Mengare kota Sapoloh Sumenep tampak jelas.

- M. Ridlo'i/Guntur IP

1 comment:

admin said...

Wah, liputan yang menarik neh.
Ditunggu cerita lainnya rek!!