Saturday, October 06, 2007

Gaung Gelora Tak Lagi Bergema













Pemuda!
Tingkatkanlah ketahanan, Demi keutuhan pertiwi.

Tulisan itu terpampang di kulit pintu samping Gelora Pantjasila. Seakan menorehkan berjuta pesan bagi kita, demi untuk mempertahankan keutuhan bangsa.

Gelora Pantjasila (ejaan dulu, red) seolah menjadi saksi sejarah perjuangan arek-arek suroboyo. sebuah aset sejarah yang pantas untuk diulas seiring kian rentasnya bangunan kokoh gedung olahraga tersebut.

Suguhan dua gambar relief yang dibuat pada tahun 1965, menceritakan tentang sejarah perjalanan olahraga di dunia. satu relief menggambarkan tentang olah raga pada masa purba, dan pada satu gambar yang lain mengambarkan olahraga pada masa sekarang.

Gedung yang berdiri pada tahun 1965 itu dapat dibilang cukup lengkap fasilitasnya. Hal ini terlihat dari adanya bekas kolam pada bagian belakang gedung ini untuk cabang olah raga polo air. Namun, kini keberadaannya telah ditutup untuk umum.
Selain itu pada masa kejayaannya gedung yang diresmikan pada tanggal 1 Juni 1966 oleh Gubernur Jawa Timur yang ke Lima Moh.Wijono ini juga terdapat kamar bagi altlet dari luar daerah Surabaya, ruang kesehatan, ruang ganti, ruang reporter, musholah, ruang mekanik, dan kamar mandi.

Mengenai penamaan gedung yang berkapasitas 5.000 orang ini sempat berganti nama dari Gelora Pantjasila menjadi Gelora Suhartati. Dia seorang atlet terjun payung asal Surabaya, yang meninggal pada saat berlaga di Lapangan Halim Perdana kusuma,Jakarta. Namun, akhirnya nama Gelora Pantjasila dipilih kembali dengan tujuan nilai sejarah gedung tersebut dapat selalu terkenang.

Terselimuti Debu
Tampak dari luar, cat tembok yang mengelupas, bagian atap-atapnya yang jebol, banyak kaca pecah dan debu tebal menyelimuti setiap sudut gedung ini. Pemandangan ini merupakan bukti kian usangnya nilai sejarah Gelora Pantjasila.

"Kondisi ini dikarenakan pada saat itu gedung digunakan untuk berkampanye oleh beberapa partai politik dan pada saat itu beberapa dari mereka yang kontra merusak gedung yang kaya akan nilai sejarah," kata Hadi pengelola gedung saat ini.

Di tangan cukong-cukong, yang kesannya ditutup-tutupi. Gedung ini disewakan untuk umum, Rp. 4.500.000 untuk 1 harinya. Namun, kelayakan gedung ini yang sudah tak memadai, gedung ini pun sepi dari persewaan.

Padahal hidup mati gedung ini tergantung pada ada atau tidaknya yang menyewa gedung ini. “Bahkan saat ini untuk sekedar pembiayaan gedung saja tidak ada dana yang masuk “ imbuhnya.

Tidak jelas bagaimana nasib gedung ini selanjutnya, padahal gedung yang juga menjadi salah satu ikon Surabaya ini, setidaknya sebagai harta yang paling berharga yang seharusnya tetap dipertahankan.
Lebih memprihatinkan, sebagian masyarakat kota Surabaya sendiri seakan tidak peduli dengan harta kota yang bernilai sejarah. Lalu lalang kendaraan dan kepulan asap kendaraan semakin membuat gedung ini semakin tampak kusam.

Walaupun begitu gedung ini masih tetap berdiri kokoh dengan kenangan sejarah, meski kini gaung gelora tersebut tak lagi bergema. ( Naskah: Shiska PA/Foto : Dhimas P )

3 comments:

Boby Noviarto Pribadi said...

gelora pancasila..!!!.. hmmm... cerita yang menarik... sebuah cagar budaya Surabaya.... khusus untuk fotografer... mungkin bisa lebih sabar... setahu saya... setiap bulan, paling tidak ada 1 event digelar ditempat tersebut. Paling tidak ada 1 foto yang menunjukkan ada aktivitas di tempat tersebut akan membuat 'story' lebih hidup.
Salam... keep on fire..!!

jagung manis said...

"Gaung Gelora Tak Lagi Bergema", mengapa tak langsung aja "Gelora yang Tak lagi Bergema", atau "Ketika Gelora tak lagi Bergema". Lebih menyentuh saya pikir. Dan komparasi kini danmasa lalu, mengapa tak dibikin lebih ekstrem, termasuk kealpha-an pemkot yg tak peduli aset-nya?

Made D. Rama A. said...

Iya turut prihatin mas... Dulu sering bal-balan di sana..