Monday, December 31, 2007

Menuai Asa di Benang Jahit


Ujung tajam jarum jahit di tangan Samsul Arifin seperti menari-nari kecil ketika sebuah baju sedang dijahitnya. Jret..! Dalam sekejap baju itu pun jadi sesuai keinginan konsumen.

Dengan sabar dan teliti dirinya mulai memasukan benang ke dalam lubang jarum. Suara mesin jahit yang mulai bekerja, santer terdengar begitu cepat seolah memompa semangatnya untuk segera merampungkan jahitannya.

Mengais rejeki di Kota Surabaya dan bermodalkan mesin jahit bekas, bagi laki- laki 42 tahun ini bukanlah suatu hambatan. "Bagaimana lagi mampu saya hanya ini, terpenting dapat untuk menafkahi keluarga di Madura," ujar bapak dari tiga anak itu.

Samsul Arifin, adalah salah satu dari puluhan penjahit yang berjajar memadati jalan raya Patua Surabaya. Tumpukan kain, baju, jeans, jaket dan berbagai macam warna gulungan benang yang tertata rapi, seakan memberikan warna dalam hidup penjahit kecil seperti mereka.

Tempat yang mereka gunakan untuk usaha pun cukup sederhana. Meski, berbekal lapak dari kayu lapuk dan beratapkan terpal usang, ditambah penerangan sebuah lampu neon di atas meja jahit saat malam hari. Namun, kebanyakan konsumen tertarik dengan keramahan pelayanan para penjahit Patua.

Obrolan hangat dan canda tawa keluar dari mulut-mulut penjahit. Dengan inilah mereka akan merasa terhibur untuk mengusir kepenatan dan rasa lelah. Karena rata-rata penjahit Patua bekerja seharian dari pukul 08.00 sampai 21.00. "Karena melelahkan, maka kami isi dengan ngobrol dan bergurau," timpal seorang penjahit lainnya.

Mengenai kepastian sejak kapan usaha jahit di jalan Patua mulai menjamur masih belum ditemukan kepastiannya. Hanya saja, bagi Samsul dan seorang rekannya bernama Syafi'i termasuk paling dulu daripada penjahit lainnya. "Tahun 2002 adalah awal dari usaha jahit saya di jalan sini (Patua)," kenangnya sembari tersenyum.

Meski begitu, keberadaan puluhan penjahit di jalan Patua mampu memberi warna tersendiri bagi masyarakat dan Kota Surabaya. Oleh sebab itu walaupun penghasilan yang diraih tak seberapa besar, mereka memilih untuk bertahan di tengah maraknya persaingan bisnis jahit yang tempatnya lebih memadai. (Naskah/Foto: Shiska Pradibka)

No comments: