Thursday, September 20, 2007

NASIONALISME

Oleh: H.S. WILLY PANGESTU Sekretaris DPP Persatuan Islam Tiong-Hoa Indonesia (PITI)

Nasionalime atau Kebangsaan yang muncul sejak abad XVIII yang lalu, perlahan mengikis serta merubah total sistem Kerajaan yang feodal dari permukan bumi ini, karena mengingatkan manusia bahwa untuk membangun dan mencintai bersama sebuah komunitas (yang disebut Negara). Adalah karena cita-cita yang sama dari seluruh penduduk dalam wilayah tersebut, bukan karena keperkasaan, kearifan atau kekayaan seseorang dalam membentuk sebuah
komunitas yang disebut Kerajaan.
Sebuah Negara yang dibangun dengan semangat kebersamaan diatas tentu diselenggarakan dan dilindungi dengan sebuah sistem Perundangan- undangan / Hukum yang dihasilkan dengan merangkum semua cita-cita / aspirasi bersama dari ‘penghuni’ negara tersebut, serta tidak membeda-bedakannya, diperlukan tataan lingkungan yang dapat menciptakan kehidupan yang damai dan adil berdampingan bagi seluruh anggota masyarakat, sebaliknya ketidak-adilan terhadap Hak & Kewajiban anggota masyarakat akan menimbulkan ketidak-puasan, permusuhan dan pertingkaian yang berakibat menjadi perpecahan dan kehancuran komunitas / negara tersebut.
Suatu Idealisme untuk mewujudkan cita-cita bersama tersebut, seringkali harus diperoleh lewat suatu perjuangan yang penuh pengorbanan, baik harta maupun raga. setelah itu tercapai, dinamika kehidupan manusia masih akan terus bergerak mengikuti perjalanan dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi berikutnya yang akan terus berubah Pra Kemerdekaan Republik Indonesia, penduduk Nusantara dengan semangat Patriotik bangkit untuk melawan untuk melepaskan belenggu dari penjajah yang berasal dari tempat yang ratusan ribu kilometer jauhnya serta berada dibalik belahan bumi ini, mereka berjuang tanpa pamrih, bahu-membahu, bersatu dengan menanggalkan kepentingan pribadi / kelompok, perberbedaan suku, ras, agama & golongan, siap mengorbankan jiwa dan harta, hanya untuk mencapai suatu cita-cita bersama, yaitu MERDEKA !
Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia kita mulai belajar untuk membangun ‘hasil perjuangan’ bersama ini berawal dengan segala macam penderitan lahiriah namun penuh kebahagiaan di bathin pasca perang kemerdekaan, dalam perjalanan waktu, kemajuan yang sedikit demi sedikit telah dicapai, dengan pergantian generasi, pelahan-lahan menghadapkan masyarakat pada kebutuhan atas hal-hal yang baru, suatu yang aktual dan nyata, bukan sekedar nostalgia.
Sekarang ini saat generasi kita membutuhkan pekerjaan yang mapan dan mantap agar dapat mensejahterakan keluarga, kemudian butuh pendapatan yang lebih baik agar dapat menikmati kemewahan dan kemegahan dan seterusnya. Kita butuh pendidikan yang baik agar dapat mencapai status sosial yang tinggi dan lebih tinggi lagi.
Sehingga kita mulai mempertanyakan apa Definisi dan bagaimana wujud / contoh konkrit / sebenarnya dari nasionalisme pada situasi dan kondisi sekarang, Apakah penjabat pemerintah yang tidak korupsi dan tidak kolusi, yang bekerja seadanya dan tidak menghasilkan kemajuan pada posisi yang dijabat, dapat disebut nasionalis?
Sebaliknya penjabat yang korupsi, kolusi dan lain sebagainya, namun telah membawa perubahan yang sangat baik dan dampak positif yang besar bagi masyarakat melalui bidangnya
menjadi tidak nasionalis ?
Apakah warga Negara yang selalu aktif / giat pada perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, namun sehari-hari adalah pengangguran, sudah tentu nasionalis ?, sebaliknya yang tidak pernah ikut upacara tersebut namun lebih mencurahkan perhatian bagi lingkungan, menjadi tidak ?
Apakah Pengusaha yang melakukan manipulasi atau penyelundupan serta tindak kejahatan
ekonomi lainnya, tetapi menggunakan hasil-hasil tersebut untuk menciptakan lapangan kerja
baru, menjadi tidak nasionalis ? dan pengusaha yang telah membayar pajak besar dan banyak
melakukan bakti sosial bagi fakir miskin dan korban bencana, walau yang dilakukan itu bagai
‘memberi segelas susu pada orang yang kehausan di padang pasir’, sudak menjadi nasionalis?
Apakah perampok, pencuri, preman, PSK dan lainnya, bukan nasionalis, sedangan para tokoh agama sudah pasti adalah nasionalis ? Apakah oknum penggerak demo buruh untuk menuntut perbaikan / penghasilan layak / lebih, yang akhirnya mengakibatkan kebangkrutan bagi investor adalah seorang nasionalis ?
Apakah warga negara yang bukan dari penduduk asli seperti etnis Tionghoa, Arab dan India, bahkan warga Negara asing lainnya yang telah menjadi warga Negara Indonesia secara sukarela selalu dipertanyakan / diragukan nasionalisme-nya ?
Sedangkan penduduk asli sudah menjadi pasti adalah nasionalis Lalu bagaimana untuk menentukan sikap warga negara yang dapat disebut Nasionalis atau tidak ?
Cinta Tanah Air menjadi prinsip utama sebagai nasionalis, namun pada era sekarang yang globalistik dan kehidupan ber-masyarakat yang individual, serta tidak membutuhkan perjuangan fisik dalam memper- tahankan wilayah dan kedaulatan kita dari ancaman negara /
bangsa lain, maka ekspresi / penyampaian prinsip tersebut menjadi kabur bentuknya.
Untuk beberapa kasus seperti Olahragawan / Diplomat yang dengan mengenakan atribut lambang Negara kita berhadapan dengan bangsa / negara lain demi membela kepentingan Ibu
Pertiwii maka dari hasil perbuatannya, kita dapat menilai tingkat atau bobot ke- cinta tanah
air-an / nasionalis yang bersangkutan, namun bagi anggota masyarakat yang tidak memiliki
kesempatan seperti itu menjadi sangat sulit untuk dapat menunjukkan atau dinilai tingkat
Nasionalis / Kebangsaan seseorang, karena idealisme ini bersifat moral / mental yang tak
terlihat.
Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) yang kita cintai bersama ini, sedang mengalami cobaan Tuhan yang bertubi-tubi, krisis multidimensi, baik dari segi Politik yang kurang stabil, atau segi Ekonomi yang mengalami keterpurukan, segi Moral / Mental masyarakat yang ragu-ragu dan hilang kepercayaan diri, serta dari segi Alam yang telah menghancurkan beberapa daerah dengan bencana yang terjadi.
Semua ini sudah menjadi keharusan bagi setiap warga negara untuk menggugah diri masing-masing dengan satu pertanyaan : “ Apa yang dapat aku lakukan dan berikan kepada Bangsa dan Negara kita ini “ Maka dari itu, saat ini kita tidak perlu mepertanyakan Nasionalisme orang lain,
tetapi kita membutuhkan masyarakat yang atas kesadaran sendiri mau peduli dan siap melakukan suatu pekerjaan ( walau dapat disebut sepele ) yang bermanfaat / positif bagi masyarakat terutama yang berada di sekitarnya, untuk dapat menciptakan rasa kebersamaan, keharmonisan lingkungan serta kerukunan warga dan bersama-sama bertindak adil secara musyawarah, tanpa mendiskreditkan orang / kelompok lain, hidupkan kembali slogan-slogan : Gotong Royong, Holobis Kuntul Baris dan lain-lainnya, yang telah terbukti dapat menyelamatkan masyarakat dari penderitaan, hilangkan sifat iri dan syirik, tingkatkan semangat bersaing yang sportif, sehingga kerukunan masyarakat yang tercapai dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus memakmurkan dan melanggengkan Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ), dan bukan seseorang atau suatu lembaga yang mengutamakan kepentingan pribadi / pendukung / konsituen / golongan untuk mencapai tujuan, namun menghambat / mengorbankan kepentingan umum / Negara.
Politik “ Devide et Impera “ kolonial penjajah telah tiada bersamaan dengan terusirnya penjajah dari Bumi Pertiwi ini, kita telah merdeka selama 52 tahun, maka pola pikir / paham yang sejenis jangan dijadikan warisan yang lestari, tapi sudah selayaknya juga harus terhapus dari pikiran kita, karena pengalaman pahit telah membuktikan bahwa itu hanya akan memecah belah dan penghancurkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa dan Negara tercita ini.

No comments: