Wednesday, December 05, 2007

Perbedaan Pandangan Antara Pemerintah dan Media tentang Kebebasan Pers

Oleh : Sholahu Musa Izzudin (Mahasiswa Stikosa–AWS).

Ada yang menarik dalam kesempatan pemberian Penghargaan Ketahanan Pangan 2007 di Istana Negara, Jakarta (15/11) lalu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Kala itu SBY menyampaikan persoalan pers di Indonesia. Intinya Presiden mengatakan ”Pers dimanapun saya tahu, di dalam dan di luar negeri, kalau ada kesalahan, pelanggaran, dan kasus hukum, cepat muncul dan besar-besar. Ya, memang itu untuk mencegah yang lain jangan ikut-ikutan berbuat salah, jahat, melanggar hukum, dan sebagainya,” ujarnya.

Namun, Presiden menilai, selain menampilkan berita buruk sebagai upaya kontrol dan pencegahan, lebih baik lagi jika rakyat juga tahu berita bagus yang dibuat pemerintah dan putra-putri bangsa. (Kompas, 16/11, hal.15/2-5).

Apa yang diungkapkan Presiden tersebut adalah pandangan Presiden tentang kondisi pers Indonesia sekarang ini, dan seakan-akan berkebalikan dengan pandangan pers atau media massa saat ini yang memberikan porsi lebih banyak untuk berita-berita ”buruk”, merupakan upaya kontrol dan sebagai media aspirasi masyarakat. Sehingga penampilan berita merupakan cerminan masyarakat yang melakukan kontrol terhadap pemerintah sebagai pemegang amanat rakyat.

Berita-berita semacam itu memang menarik dan nampaknya masyarakat antusias untuk mencari berita semacam itu. Karena selama bertahun-tahun masyarakat tersajikan dengan berita keberhasilan pemerintah, namun realitanya bangsa dan negara ini semakin terpuruk.
Di era demokratisasi sekarang ini, jaminan konstitusional terhadap kebebasan pers sebagai media massa, menyatakan pendapat dan berekspresi (freedom of opinion and expression) belumlah memberikan ruang gerak kebebasan tersebut.

Kadang kala kebebasan ini terbelenggu dengan pola pencegahan dengan reflektivitas baru, baik dalam bentuk tekanan politis maupun tekanan sosial dengan memberikan aksentuasi pada pengerahan massa politik (political mass) ataupun massa publik, dengan atau tanpa visi materiil belaka.
Inilah yang terjadi pada konsep pers bredel versi pemerintah yang menimbulkan polemik. Kehidupan pers tidaklah terlepas dari keterkaitan antara kekuasaan, masyarakat, dan individu yang memerlukan suatu keseimbangan kepentingan informasi di antara ketiga komponen. Artinya, implikasi terhadap pernyataan-pernyataan, baik tertulis maupun lisan, akan memberikan arah solusi pada pembenaran hukum, bukan dengan cara non-extra journalism seperti pengerahan massa, pendudukan kantor media massa dan formulasi kekerasan lainnya maupun dengan cara prevensi yang non demokratis sebagai aktualisasi konsep pers bredel.
Diakui memang, faham kemerdekaan pers di era demokratisasi ini mengarah pada faham libertarian sebagai bentuk kebebasan pers yang absolut, tetapi dalam konteks kebebasan ini tentu ada legal responsibility bagi pers.

Kemerdekaan pers yang universal pada alam demokrasi harus memenuhi dua asas persyaratan. Pertama, asas limitatif, yaitu tidak diperkenankan adanya suatu penciptaan produk hukum yang normatif akan membatasi kebebasan pers itu sendiri, bahkan larangan absolut melakukan tindakan prevensi berupa bredel dan sensor.

Kedua, adanya asas demokratis di mana tidak diperkenankannya melakukan pemidanaan terhadap segala pernyataan-pernyataan yang bersifat prive. Sikap antisipatif hukum memang harus dimiliki institusi pers. Pers tidak sekadar berkilah di balik imunitas hak tolak yang dijamin UU.

Kekuatan pers bukan didasari adanya pemberitaan yang memenuhi persyaratan cover both sides ataupun telah memperoleh sumber berita sebagai investigating news yang dapat dipertanggungjawabkan. Analisis dan memberikan opini yang bertentangan dengan fakta akan menjadi tanggung jawab pers, karenanya pers tidak lepas dari pertanggungjawaban hukum.
Karena pada konsep dasarnya media massa dipahami mempunyai tiga fungsi dalam pemberitaannya, pertama media massa merupakan suatu mekanisme yang sifatnya digunakan untuk menyebarkan informasi yang dapat dipercaya, lengkap, cerdas dan memberi makna.
Kedua media massa merupakan suatu mekanisme yang menjadi kontrol sosial dalam artian media massa ikut menahan diri, tidak memberitakan persoalan yang bisa memicu konflik antar kelompok masyarakat (SARA), mendorong meluasnya perilaku menyimpang (perkelahian, narkoba, dll.), serta hal-hal yang dapat dipandang mengganggu ketentraman dan ketertiban sosial. Ketiga media massa berfungsi sebagai edukasi untuk masyarakat dengan menginformasikan pengetahuan-pengetahuan, pemberitaan yang berimbang antara berita buruk yang berfungsi sebagai kontrol sosial dan berita bagus untuk motivasi dan teladan bagi masyarakat dalam berbagai hal.

Pers di Indonesia sejak Mei 1998 telah menikmati kebebasan, lepas dari kungkungan dan kontrol pemerintah. Di mana sebelumnya sebelumnya pers kita semata-mata hanya menjadi corong (mouth piece) pemerintah, kehilangan independensi dan fungsi kontrolnya. Berbagai pembatasan membuat wartawan tak bebas menulis dan sering menggunakan gaya bahasa eufimistik dan melakukan swasensor (selfcensorship) untuk menghindarkan teguran dan pembredelan.

Kebebasan pers di Indonesia yang berlaku sejak 1998 sering mendapat kecaman masyarakat termasuk Presiden SBY, karena pada umumnya terkesan kurang bertanggung jawab dan dan kurang mematuhi etika ada kondisi terbalik.

Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana sebenarnya peranan media massa menurut konsep teori. Di antaranya adalah salah satu peranan media adalah mempengaruhi sikap dan perilaku orang atau public.

McDevitt (1996: 270) mengatakan, “Media cukup efektif dalam membangun kesadaran warga mengenai suatu masalah (isu).” Lindsey (1994: 163) berpendapat, “Media memiliki peran sentral dalam menyaring informasi dan membentuk opini masyarakata.” Sedangkan para pemikir sosial seperti Louis Wirth dan Talcott Parsons menekankan pentingnya media massa sebagai alat kontrol sosial.

Media massa dari segi etimologis, adalah ‘komunikasi massa’ –komunikasi massa adalah sebutan yang lumrah di kalangan akademis untuk studi ‘media massa’. Sehingga dari segi makna, ‘media massa’ adalah alat/sarana untuk menyebar-luaskan berita, analisis, opini, komentar, materi pendidikan dan hiburan. Pertanyaan selanjutnya adalah, sanggupkah media berlaku ”adil” dalam hal pemberitaannya dengan memberi porsi yang berimbang antara berita bagus dan berita buruk ketika masyarakat lebih senang dengan pemberitaan tentang hal-hal yang buruk.

Karenanya, jika tidak ada kebijakan untuk membenahi Pers, dalam hal ini pemberitaan di media massa,. Maka sulit dibayangkan bagaimana pers kita menjadi suatu mekanisme yang mencerdaskan masyarakat di masa akan datang. Bisa jadi media massa akan dimanfaatkan sekelompok orang, golongan demi untuk memperoleh keuntungan saja.

Walhasil, bagaimana masyarakat bisa berpartisipasi untuk membangun bangsa dan negara ketika kepercayaan kepada pemerintah sudah tidak ada akibat dari pemberitaan media yang tidak berimbang. Kerap kali memaparkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan pemerintah dan jarang memberitakan keberhasilan-keberhasilan yang dicapai pemerintah.

Lantas, apalah arti sebuah kebebasan pers yang katanya berfungsi sebagai suatu mekanisme yang dapat mencerdaskan masyarakat. Eksesnya adalah masyarakat menjadi pesimis, skeptis, dan bahkan akan menjadi masyarakat yang sinis dan apriori.

Namun disisi lain tidak terbayangkan jika kehidupan di dunia ini tanpa pers, tanpa sarana penyiaran berita, tanpa pelapor berita, tanpa wartawan, tanpa surat kabar, tanpa juru foto, tanpa televisi, tanpa juru kamera, tanpa radio, dan sekarang tanpa internet. Singkatnya, tanpa keberadaan komunikasi massa, yang lebih popular dengan istilah ‘media massa’.

Maka yang terjadi adalah ibarat hutan belantara, yang sulit diprediksi, sulit dikontrol, dan kesulitan-kesulitan lainnya, dunia akan berlaku hukum rimba serta kekacauan yang sulit dikontrol dan dideteksi. (Penulis, Mahasiswa STIKOSA – AWS).

No comments: