Di tengah kemajuan peradaban manusia dari pemakaian kayu menuju minyak tanah bahkan adanya gas elpiji, masih saja dapat dijumpai rumah pembuatan kayu arang.
Seperti halnya yang dilakukan Sandoyo. Rumahnya yang terletak di Jalan Semampir AWS itu dijadikan sebagai tempat pembuatan kayu arang. Tak ayal karung dan dinding berwarna putih tidak lagi menunjukkan warna aslinya. Akibat serbuk arang yang melekat dalam bangunan seluas 15 x 5 meter itu.
Tampak sebelah barat pintu masuk, sejumlah arang yang belum dikemas berserakan di lantai. Hawa panas terasa dari kayu arang itu, karena baru saja dikeluarkan dari tungku pembakaran.
Di dinding salah satu ruangan setingi 3,5 meter yang berfungsi sebagai gudang terlihat papan pencatat hasil produksi dan hasil penjualan. Sedangkan di samping gudang terdapat sebuah tungku pembakaran, yang mana sekali proses pembakaran menampung kayu arang sebanyak empat truk. Dan setelah dibakar menghasilkan arang sekitar 2 ton.
Selama sembilan hari dalam dua minggu tungku tersebut menggepulkan asap, bahkan pada musim hujan lebih lama dua hari. Sebelum arang dibongkar dari tungku, terlebih dulu disiram air yang diambil langsung dari air Kali Londho yang terletak di sebelah selatan pabrik tersebut. Menurut pemiliknya arang-arang itu dipasarkan tidak hanya di dalam kota saja, salah satu contohnya di Solo.
Dari pemasarannya pabrik arang ini tidak hanya melayani penjualan partai tetapi juga eceran. Mengenai harga yang dipatoknya pun berbeda. Untuk eceran perkilogramnya senilai Rp 2 ribu sedangkan eceran perkilogramnya senilai Rp 1800.
Dari pekerjaan ini Sandoyo dalam satu bulan mampu mendapatkan laba Rp 2 juta, “Bahkan pada bulan besar, seperti menjelang hari raya kurban dapat memperoleh 3 kali lipatnya,” ujar pria asal Nganjuk yang memulai usaha ini sejak tahun 1983.
Ketekunan sebagai pembuat kayu arang tak hanya berbuah dari uang yang diperoleh. Pada tahun 1990-2002 usaha yang ditekuninya mampu menjalin kerja sama dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dalam bentuk pengadaan kayu.
Saat ini ada empat karyawan salah satunya Riyono. Pria asli Surabaya ini mengatakan kalau kebutuhanya banyak, maka akan mendatangkan bahan mentah dari Nganjuk dan Bojonegoro. Bapak dua anak ini menuturkan kalau ada kayu-kayu yang dapat dijadikan arang dengan kualitas bagus di antaranya kayu asem, akasia, sono, cemara, dan lamtoro.
Cara Tradisional dan Oven
Dalam menghasilkan kayu arang menurut pekerja yang ditemui di rumah industri itu, ada dua cara yakni menggunakan cara tradisional dan menggunakan cara pengovenan.
Arang tradisional bentuknya lebih kecil, hal ini dikarenakan kapasitas tungku yang kecil pula. Kayu sebelum dibakar terlibih dulu dipotong dan dipecah agar mudah dalam penataan. Tungku tradisional terbuat dari tanah yang digali. Kemudian kayu ditata di atas galian tanah.
Setelah tertata rapi kayu ditutup dengan tanah, sehingga mirip gundukan makam. Pembakaran biasanya berlangsung tiga hari dua malam. Arang yang dibakar sudah matang ditandai turunnya gundukan tanah tersebut. Akan tetapi dalam kondisi tersebut arang yang sudah matang tidak dapat langsung diangkat. Melainkan menunggu hingga panas arang hilang.
Sedangkan kayu arang cara oven menurut salah seorang pegawai Sandoyo mempunyai ukuran yang lebih besar. Kayu tidak dipotongi kecil-kecil, karena tungku yang besar mampu menampung kayu yang ukuranya besar pula. Kayu yang dibakar panjangnya kurang lebih setengah meter. Baik kayu yang berukuran besar maupun kecil dimasukan dalam tungku. Arang yang berukuran besar yang banyak dibeli konsumen di Surabaya.
Untuk lama pembakarannya, arang cara oven membutuhkan waktu sembilan hari. Dan tungku yang digunakan terbuat dari batu bata layaknya bangunan rumah pada dindingnya, atasnya tertutup permanen dari semen dan pasir (corcoran). (M. Robby Ridwan)
Thursday, December 06, 2007
Arang Menantang Rejeki Melenggang
Diposting oleh ADAKHIL SANG PENAKLUK di 8:15 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment