Thursday, December 06, 2007

Mak Cip, Tetap Bertahan di Tengah Rintangan


Mak Cip, begitu biasanya wanita yang memiliki nama asli Sunarmi ini disapa. Namanya tak asing lagi bagi sebagian kalangan yang ada di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS).

Dari tempat asalnya di Dusun Siraman Kecamatan Kesamben Kabupaten Blitar Mak Cip bersama suaminya Sucipto (55) mencoba merantau ke Surabaya. ”Tepatnya pada tahun 1984 dan waktu itu suami saya mendapat tawaran pekerjaan pertama kali di Surabaya,” kenang wanita kelahiran tahun 1955 ini.

Kebetulan di kala itulah Stikosa-AWS yang menjadi tempat bekerja suaminya, sebagai cleaning service sekaligus petugas keamanan yang dijalani.

Mengenai kapan wanita yang memiliki empat anak ini mulai berjualan di kampus yang dianggap sebagai candradimukanya jurnalis itu, ia pun berkata bahwa mulai berjualan aneka masakan, jajanan, minuman, dan kebutuhan mahasiswa lainnya di kantin kampus Stikosa-AWS pada tahun 1990. Yang saat itu berlokasi di belakang kamar mandi mahasiswa.

Berselang waktu 2 tahun kemudian pindah sebelah kiri sekretariat Teater Lingkar. “Karena ada perbaikan kantin sementara, pindah selama 2 bulan lalu kembali lagi,” ujar wanita yang melahirkan seorang putra yang menjadi ajudan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

Ditanya bagaimana persaannya memiliki putra yang bekerja sebagai ajudan seorang presiden. Ia mengungkapkan perasaan bangganya. “Namun, rasa bangga itu hanya ada dalam hati saja. Karena hal tersebut tak layak digembar-gemborkan,” katanya.

Pindah Tempat Baru Alhasil, pada tahun 2004 pihak kampus membuatkan fasilitas tempat kantin yang menurutnya lebih memadai daripada sebelumnya. Dari sini Mak Cip merasakan perbedaan yang lumayan jauh dengan tempat sebelumnya.
“Bedanya terletak pada keuntungan yang saya raih dan mungkin juga dengan suasana yang lebih menarik berdampak pada banyaknya pembeli,” ucapnya.

Sebagai seorang penjual makanan bukanlah tak pernah lepas dari berbagai persoalan. Selain persoalan yang selalu dikejar dengan pembayaran uang sewa stan pada pihak kampus. Dirinya kerapkali dihadapkan pada pembeli yang tidak dapat langsung membayar makanan yang sudah dibeli atau dengan kata lain ‘ngutang’.

Sosok Mak Cip sebenarnya ciri khas penjual makanan di kantin kampus Stikosa-AWS yang mau menerima pembeli yang tidak dapat langsung membayar makanan yang sudah dibeli atau dengan kata lain ‘ngutang’.

“Mak Cip… Mak Cip, saya ngutang dulu ya,” kata-kata yang sering diungkapkan sebagian mahasiswa padanya.

Mendengarnya dengan mudah ia mengiyakan kepada pembeli yang ngutang dengan syarat dicatat dalam buku tunggakan mahasiswa. Tradisi sudah terjadi sejak ia berjualan di kantin yang lama. Dengan kesabarannya mengingatkan pada mahasiswa yang mempunyai tunggakan.

Terkadang Mak Cip marah kepada mahasiswa yang membantah kalau diingatkan untuk melunasi tunggakan. Ada juga kalau seseorang memesan minuman atau makanan dengan membentak-bentak itu membuat Mak Cip menjadi marah. Tapi, kejadian itu tidak pernah beralanjut dikemudian hari hanya saat itu saja. Bahkan, Mak Cip mengatakan utang yang paling banyak tercatat pada satu orang pernah hampir satu juta tapi, itu diangsur sedikit demi sedikit oleh orang itu. Memang utang-utang mahasiswa itu sudah mencapai angka ratusan ribu.

Di tengah kondisi pelanggan yang sering hutang dan usianya yang tidak lagi muda ia tidak punya niatan untuk berhenti berjualan. Alasannya masih ingin mempunyai kegiatan. Ia juga menambahkan entah sampai kapan ia berhenti berjualan, meskipun rintangan selalu menghadang. (Naskah: Reza Nurmansyah / Foto: Wahyu Triatmojo)

Mak Cip sedang menyiapkan masakan khasnya di ruang kerjanya....


1 comment:

BAMBANG TRI NUGROHO said...

Wow..... inilah pahlawan tanpa tanda jasa...
Segarang-garangnya preman AWS, gak ada yang berani ama perempuan yang satu ini...
Tulisanne apik rek...!!!