Oleh: M. Ridlo’I
Dodotiro….Dodotiro……
kumitir bedah ing pinggir,
Dondomono……Jlumatono………
Surak ono, yo surak iyo
Sepenggal bait di atas termaktub dalam suluk berjudul Lir-Ilir, buah karya mbah Kanjeng Sunan Kalijaga.
Kala itu mbah kanjeng seakan punya firasat tersendiri tentang suatu badan, lembaga, organisasi atau negara yang akan digeluti oleh para penerusnya (anda dan kita). Oleh karena itu, beliau mencoba menuangkan firasatnya dalam sebuah lirik yang nantinya dapat diwariskan pada anda dan kita juga. Sebuah warisan yang tidak berupa harta, akan tetapi menjadi sebuah tongkat di saat kita melangkah dengan mata yang tertutup.
Bait ‘kumitir bedah ing pinggir, Dondomono……Jlumatono……’. Maksudnya adalah memerintahkan pada kita untuk dapat menjadi orang yang mampu menjahit (Dondomono) atau menyulami (Jlumatono) segala sobekan yang ada pada bagian pinggir pakaian kita.
Jadi, dari sini terasa jelas jika ada yang sobek (bedah) pada baju yang kerap kita pergunakan sehari-hari. Maka, kita harus mampu memiliki kedua sifat tersebut agar baju yang bedah nan compang-camping akhirnya dapat tetap terpakai.
Nah, untuk dapat ndondomi atau njlumati, patut terbesit sebuah kesepakatan antara tangan (yang biasa digunakan untuk menjahit atau menyulam) dengan jarum atau benang (sebagai alat yang digunakan untuk menyulam).
Cukup menggelitik telinga, menyayat hati dan memedaskan mata saat dilema anda dan kita tampak beda. Anda ngomong A sedang kita ngomong B, Anda membuat komitmen A sedang kita membuat komitmen B atau adakalanya malah membuat seekor semut terpingkal-pingkal saat anda beri contoh A tapi tingkah laku anda tak sesuai di hati kita.
Bocah angon… Bocah angon…
Penekno…blimbing kuwi…
Lunyu-Lunyu yo penek no
Kanggo mbasuh dodotiro
Matahari masih bersinar, tiba-tiba mendung kelabu bergelanyut di tempat sang kawan pencari ikan. Namun, hingga hujan deras mengguyur, sang kawan masih saja kebingunan tak seekor ikan pun diraih. Ia pun berkeluh, “Selama ini, aku tak diajari tentang menggunakan alat pancing atau jaring untuk memperoleh ikan tersebut”.
Andai, mbah Kanjeng Sunan Kalijaga masih hidup untuk menyaksikan tingkah laku anak cucunya. Betapa risaunya saat melihat bang Haji atau Kyai, yang kini berkampanye indahnya menggauli wanita non muhrim atau melihat mahasiswa yang tak pernah terlihat duduk manis di bangku sekolahnya, tapi ia berkata bak dewa dan akhirnya ia pun di puja atau merasa sok parlente dan sok mumpuni dibidangnya.
Ya, anda dan kita sedang dilanda kumitir bedah ing pinggir. Begitu pula anda dan kita ibarat ‘Bocah Angon’, yang Penekno Blimbing Kuwi (tugas dan kewajiban), meski Lunyu-Lunyu (dalam kondisi apapun) tetap penek no (junjung tinggi atau patuh). Tentunya semua hanya kanggo mbasuh dodotiro (makna fleksibel dan terkait almamater yang kita kenakan).
Saturday, December 15, 2007
Anda, Kita dan Warisan Mbah Kanjeng
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment