Oleh: M. Ridloi
Membaca buku Nalar Jurnalistik karya Redi Panuju tertarik dengan apa yang yakininya bahwa wartawan (jurnalis) ada dua macam. Mungkin ini kiranya dapat dijadikan renungan di balik jubah jurnalis yang telah melekat pada diri kita.
Yaitu, pertama adalah wartawan yang piawai mencari dan menulis berita. Kedua adalah wartawan yang di samping mempunyai keterampilan teknis jurnalistik, juga mempunyai nalar (wawasan) terhadap keterampilan yang dimilikinya.
Memang sepintas dua kategori tersebut agak mirip, tetapi jika dikaji secara mendalam banyak perbedaan yang mencolok. Jenis pertama tidak akan dapat menjawab pertanyaan dengan baik, misalnya, Mengapa Anda Melakukan itu? Mengapa tidak yang lain? Dia tidak dapat menghadirkan argumentasi yang logis, apalagi ilmiah. Dengan kata lain si jurnalis akan menjawab, Tak tahu ya, sudah dari sananya begitu!
Oleh karenanya, para praktisi jurnalistik kerap mengeluh merasa jenuh dengan profesinya. Bagi mereka yang tahu obatnya, sesungguhnya tidaklah sulit. Kejenuhan karena aspek motorik dapat diluruhkan dengan sentuhan wawasan yang menarik. Wawasan yang berisi nalar sehat akan mengembalikan fungsi otak sebagai komandan yang baik bagi kerja otot-otot motorik. Nalar sehat memberikan semangat baru, bahkan cara pandang baru yang dapat mengilhami pola mekanistik (kerja jurnalistik).
Memahami kerja jurnalistik tidaklah cukup dengan menggunakan konsep-konsep jurnalistik, tetapi juga membutuhkan pendekatan-pendekatan lain di luar ilmu komunikasi. Membicarakan jurnalistik berarti membicarakan media. Membicarakan media berarti mengait persoalan manajemen, audiensi, dan juga isi media.
Jika dijelajahi lebih dalam mengenai manajemen misalnya, berarti juga membahas kebijakan redaksional, leadership dalam organisasi media, dan fungsi manajemen lainnya (perencanaan, implementasi, evaluasi, dan pembiayaan).
Jadi dalam buku tersebut, sama sekali tidak berpretensi untuk menyimpulkan bahwa nalar jurnalistik itu lebih penting daripada teknik jurnalistik. Dan antara nalar dengan teknik sama-sama pentingnya, saling mengisi dalam fungsi jurnalistik.
Banyak kita jumpai lulusan pendidikan jurnalistik (pada disiplin ilmu komunikasi) ternyata tidak selalu siap kerja ketika turun lapangan. Mereka masih sangat perlu menyinkronkan antar dunia nalar yang dimiliki dengan dunia empirik yang begitu asing dirasakan. Namun, yang paling parah apabila seorang jurnalis tidak memiliki keduanya. Bekerjanya saja dengan cara coba-coba dan spekulatif (trial and error). Sehingga yang terjadi adalah jurnalis terjun tanpa parasut alias benjut di lapangan.
Sunday, December 23, 2007
Jurnalis Terjun Tanpa Parasut
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment