Derajat Tinggi sang Oposisi
(oleh: M. Ridlo'i/Pimred Acta Surya dan mahasiswa Stikosa-AWS)
Sebelum pembaca tulisan ini sampai rampung perkenankan saya memberi kesimpulan bahwa intinya berpikir jadi oposisi itu lebih terhormat daripada berpikir ’feodalisme absolut’.
Seperti halnya yang diutarakan mendiang Nurcholis Madjid (Cak Nur) dalam tulisannya berjudul ’Menjadi Oposisi Itu Terhormat’. Ia menjelaskan bahwa melihat perkembangan masyarakat sekarang ini, rupanya masih dikuasai kerangka berpikir feodalisme absolut (yang wujudnya antara lain, adanya dambaan menjadi priyayi. Anak dikirim ke sekolah supaya suatu saat dapat menjadi priyayi, menjadi ’wong pangkat’).
Dengan kata lain nilai-nilai kritisme terhadap perjuangan aspirasi yang sesungguhnya terkalahkan begitu saja dengan godaan tahta dan harta. Seperti kita rasakan tahta dan harta berada di mana ada kesejajaran yang sangat mengkhawatirkan di negeri kita ini.
Melihat gejala yang sangat mengkhawatirkan ini, sudah seharusnya kita terus-menerus menanamkan kembali ide mengenai oposisi sampai tiba saatnya di mana seseorang merasa terhormat menjadi oposisi, merasa terhormat berada di luar pemerintahan, dan merasa terhormat tidak mempunyai derajat atau pangkat seperti yang dipahami dalam masyarakat yang dijiwai oleh feodalisme absolut itu.
Oposisi tidak perlu dipahami sebagai sikap menentang (to oppose memang berarti menentang), sebab dalam oposisi kita ada pula segi to support-nya, sehingga dalam konteks politik, oposisi lebih merupakan kekuatan penyeimbang, suatu check and balance, yang bisa membuat perasaan-perasaan tersumbat tersalurkan.
Bagaimana dengan kita?
Baru-baru ini Stikosa-AWS yang terlihat adem-ayem saja mendadak mulai ramai dengan munculnya aksi yang dihimpun oleh komunitas baru mahasiswa aktif.
Mahasiswa yang terkumpul di dalamnya mencoba jadi sang oposisi. Dalam artian bertindak sebagai penyeimbang kekuasaan tunggal di kampus kita. Seperti kita ketahui terdengar nada-nada yang ingin memunculkan nama HM. Nadim Zuhdi untuk terpilih kembali menjadi AWS 1.
Ketidakberhasilannya dalam mengangkat pamor kampus candra dimukanya jurnalis ini selama empat tahun kepemimpinannya, rupanya jadi tolak ukur sebagian mahasiswa untuk mengadakan proses pemilihan ketua Stikosa-AWS melalui jalan pemilu raya.
Tentu, dari perjuangan dapat terjaring munculnya kandidat kuat lainnya. Sehingga kedemokratisan itu dapat muncul dan tercapai bagi kita. Akan tetapi yang patut ditanamkan pada jiwa kandidat yang seandainya mereka terpilih menjadi ketua di kampus ini adalah jangan memiliki pikiran feodalisme absolut, akan tetapi jadilah sang oposisi.
Oleh karenanya bagi semua yang merasa sebagai mahasiswa himbauan sebagai pintu gerbang perubahan ada di tangan dan pikiran anda. Namun, sangat disayangkan bila di hati anda sudah tak berjiwa oposisi. Padahal menjadi oposisi lebih mulia daripada menjadi seorang priyayi.
Monday, July 23, 2007
OPINI
Diposting oleh ADAKHIL SANG PENAKLUK di 5:00 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment