Denyut Asmara Kembang Kuning
Deru mesin kendaraan yang lewat di perkampungan Kembang Kuning terdengar begitu ramai. Begitu ramainya, seakan nilai sejarahnya lekang karena suara-suara tersebut.
Menjelang matahari bergeser tepat di atas kepala, beberapa anak kecil tampak asik bermain di altar makam Wiro Soerojo (mbah karimah) di Kembang Kuning Surabaya. Suara canda tawa mereka seolah tak mengusik peziarah yang sedang sejenak istirahat di pendopo makam.
Orang-orang itu duduk bersila di lantai pendapa. Terhanyut dalam doa dan kehen
ingan hati yang khusuk. Lirih do’a terucap terdengar beriringan dengan semilir angin dari pepohonan yang rimbun.
Suasana ini begitu terasa mendalam seiring dengan rangkaian sejarah yang mengalir dari cerita mbah karimah dan sejarah kampung Kembang Kuning, yang kata masyarakat setempat menyimpan kisah asmara yang patut digali.
Konon, awal kisah Kembang Kuning bermula dari bocah kecil bernama Samputoalang yang mulai beranjak dewasa memohon ijin kepada kedua orang tuanya untuk mengunjungi bibinya di kerajaan majapahit (kini tanah Jawa, red). Dan bocah itu bernama Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Kemudian Samputoalang diajak untuk menghadap Raja Mojopahit yang juga suami bibinya yaitu Ratu Darawati, (putri Kianhien) yang lebih terkenal dengan sebutan Putri Cempo.
Lama tinggal di kerajaan tersebut, Samputoalang berniat menyebarkan Islam di tanah Jawa. Alhasil, Raja Kertawijaya meminta padanya untuk memimpin rakyat yang tinggal di daerah Ampel. Saat itulah namanya pun berubah menjadi Raden Rahmatullah.
Melihat penyebaran Islam semakin pesat Raja Mojopahit akhirnya geram. Seperti halnya yang dijelaskan salah seorang warga setempat Dayat, bahwa kala itu sang Raja memutuskan untuk mengasingkan Samputoalang di hutan belantara yang ada di tempat itu (kini Wonokromo, Wonoboyo, Wonokitri, dan Wonosobo, red).
Setelah sekian lama di pengasingan Raden Rahmat memutuskan untuk membangun sebuah masjid. Masjid itupun kemudian dibangun di daerah pertengahan kademangan Cemoro Sewu, yaitu masih terletak di tengah-tengah kawasan Ampel Dento.
Berdirinya masjid tersebut adalah sebagai masjid tertua di Jawa Timur. Mengenai kapan pastinya bangunan tersebut berdiri tiada yang yang mampu membuktikan dan akhirnya masyarakat setempat menamainya dengan masjid Tiban. Namun, kini nama itu berganti menjadi masjid Rahmat.
Pada masa pendirian masjid tersebut, seringkali pada saat istirahat tiba, Nyai Karimah putri Ki Demang Wiro soerojo mengantarkan makanan. Karena seringnya bertemu maka timbullah ketertarikan di antara keduannya. Akhirnya mereka menikah dan dikaruniai dua orang putri yang diberi nama Siti Murtosima dan Siti Murtosiah. (Naskah: Shiska Pradibka/Foto: Dhimas Prasaja)