Perilaku masyarakat Jawa Timur yang percaya untuk meneruskan tradisi leluhurnya masih begitu melekat. Grebeg Suro sebagai buktinya, kebanyakan mereka tak melewatkannya demi untaian harap berkah leluhur.
Tahun 2007 ini, hampir di setiap kota di Jawa Timur yang masih kental nuansa budaya Jawa merayakan grebeg suro. Seperti di Mojokerto, Nganjuk, Malang, Tulungangung, Ponorogo dan lain sebagainya.
Dibanding dengan peringatan Grebeg Suro di berbagai kota, peringatan di Ponorogo sedikit berbeda. Di tempat ini ada Pesta Rakyat Reyog Ponorogo yang digelar secara massal, pawai kota, kirab pusaka, begadang semalam suntuk atau pesta rakyat dan larung sesaji di Danau Ngebel. Semua dilaksanakan dalam satu rangkaian pesta.
Untuk mengenang sejarah leluhur dari kota Reyog (penulisan yang kini digunakan, Red) dan semata mengharap berkah Suro-an. Masyarakat di kabupaten yang memiliki luas wilayah 1.402 kilometer persegi ini mulai pagi hingga sore, Jum’at (19/1) lalu, memadati makam salah seorang leluhur juga selaku Adipati I kota Reyog Raden Batoro Katong, yang terletak di kelurahan Jenangan, kecamatan Setono Ponorogo.
Selain berdo’a, kehadiran warga juga untuk melakukan kirab tiga buah replika pusaka Batoro Katong. Yaitu Tumbak Tunggul Wulung, Payung Tunggul Naga dan Cindhi Puspito. Ketiga pusaka di kirab oleh pasukan pembawa pusaka yang sebelumnya mendapat bekal spiritual dari delapan orang dari Yayasan Para Psikologi Semesta (YPS) di lokasi makam.
Pusaka telah diserahterimakan. Kirab dan pawai pun dimulai. Jalanan kota lama (kelurahan Setono) hingga ke kota baru (kantor kabupaten) penuh sesak warga setempat. “Kami melakukan kirab dan pawai untuk tapak tilas sejarah leluhur, yakni sebagai pertanda perpindahan pemerintahan yang kala itu pusatnya ada di tempat ini (pendopo makam Batoro Katong),” ungkap juru kunci makam tersebut Sunardi (56).
Hujan deras yang membasahi jantung kota malam itu, seakan tak menghalangi niatan ribuan orang yang sedang menanti perayaan malam pergantian tahun 1427 H menjadi 1428 H. Mulai komedi putar dan para pedagang yang menjajakan barang dagangannya pada pengunjung, seakan bersaing dengan warga yang memanfaatkan momentum ini.
Tak hanya itu, penutupan festival Reyog Nasional XIII juga berlangsung di Alun-Alun Kota Ponorogo. Dengan menyajikan suguhan tarian Reyog khas Ponorogo, yang dilanjut dengan pesta kembang api pada tengah malamnya. Menandai pergantian tahun jawa 1939 berganti menjadi 1940..
Festival Reyog Ponorogo tahun ini sendiri diikuti 31 kelompok Reyog yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mulai Lampung Propinsi Lampung, Tanjung Pinang Kepulauan Riau, Balikpapan, Kalimantan Timur, Kutai Kertanegara, Jawa Tengah dan Ponorogo.
“Bangga sekali, melihat keantusian berbagai daerah dalam menyemarakkan acara ini, sekaligus sebagai bukti kesenian reyog masih pantas diunggulkan,” kata Bupati Ponorogo Muhadi Suyono dalam sambutannya.
Acara Puncaknya, Sabtu (20/1) pagi masyarakat berduyun-duyun memadati tepian telaga Ngebel yang berjarak 25 kilometer sebelah timur pusat Kota Ponorogo. Sebagai wujud persembahan untaian harap pada leluhur dan beriring keheningan do’a kepada Sang Kuasa, mereka lakukan larung risalah do’a (berupa kotak dan tumpeng raksasa terbuat dari ketan merah).
Sebelumnya, tumpeng dan kotak do’a tersebut diarak mengelilingi telaga, dengan memakan waktu satu jam. Setelah diarak dan sampai di telaga, keduanya dinaikkan perahu bambu dan dilarung hingga ke tengah telaga dengan bantuan dorongan seseorang berpakaian serba hitam. Sayup-sayup musik Reyog terdengar bertalu-talu, do’a pun terpanjatkan.
“Ini semua dilakukan untuk ngeruwat (kirim do’a) kepada yang Kuasa dan tentunya mengharap berkah dari leluhur,” tutur Umi Lestari (50), warga Nglingi Ngebel.
- Naskah dan foto: M. Ridlo’i
No comments:
Post a Comment